Minggu, 14 Oktober 2007

KONSEP MILENIUM :
TINJAUAN ALKITABIAH TERHADAP WAHYU 20:1-6



DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan dan Ruang Lingkup
C. Definisi Milenium
II. KONSEP MILENIUM DALAM APOKALIPTISISME YAHUDI
III. AMILENIALISME
A. Kilasan Singkat tentang Amilenialisme
B. Penafsiran Amilenialisme terhadap Wahyu 20:1-6
IV. PREMILENIALISME
A. Kilasan Singkat tentang Premilenialisme
B. Penafsiran Premilenialisme terhadap Wahyu 20:1-6
V. EVALUASI DAN TANGGAPAN
A. Evaluasi terhadap Kedua Pandangan
B. Pandangan Alternatif: Kerajaan Milenium sebagai Keadaan Akhir Orang-Orang Percaya di dalam Langit dan Bumi yang Baru
VI. KESIMPULAN DAN RELEVANSI MILENIUM
A. Kesimpulan
B. Relevansi Milenium untuk Gereja pada saat ini


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Seorang ahli perjanjian baru pernah berkata bahwa salah satu perikop yang paling problematik tidak hanya di dalam kitab Wahyu tetapi juga di dalam seluruh Perjanjian Baru adalah Wahyu 20:1-6. Memang sampai hari ini orang-orang Kristen tidak pernah sepakat mengenai konsep milenium atau kerajaan seribu tahun (selanjutnya disebut milenium). Kekisruhan mengenai kerajaan milenium ini muncul kembali menjelang tahun 2000 (milenium ketiga). Ada sebagian orang-orang Kristen yang memiliki keyakinan bahwa tahun 2000 adalah tahun di mana Kristus akan datang kembali dan memulai kerajaan milenium di bumi ini. Keyakinan mereka ini didasarkan pada 2 premis: pertama, Allah menciptakan dunia ini selama 6 hari dan pada hari yang ke-7 Ia beristirahat; kedua, bagi Allah 1 hari sama dengan 1000 tahun (bdk. 2Ptr. 3:8; Mzm. 90:4). Maka, mereka menghitung sejarah dunia ini sejak Adam sampai Kristus berjangka waktu 4000 tahun, dan dari Kristus ke tahun 2000 masehi berjangka waktu 2000 tahun sehingga totalnya 6000 tahun. Sebab itu, mereka meyakini bahwa pada akhir tahun 2000, Kristus akan datang kembali dan memulai kerajaan milenium.

Tujuan dan Ruang Lingkup
Dengan latar belakang di atas, paper ini dibuat dengan tujuan: pertama, membahas dan mengevaluasi 2 pandangan mayoritas tentang milenium yang ada sekarang yaitu premilenialisme dan amilenialisme; kedua, menawarkan pandangan alternatif berdasarkan milieu kitab Wahyu di tengah-tengah apokaliptisisme dan eskatologi Yahudi pada abad pertama; dan ketiga, mengajak pembaca merenungkan bersama apa signifikansi milenium bagi orang-orang percaya pada saat ini.
Mengenai ruang lingkup, paper ini hanya membahas 2 pandangan mayoritas mengenai milenium yang ada pada saat ini, yaitu premilenialisme dan amilenialisme. Pembahasan yang dipaparkan pun tidak bersifat komprehensif (memaparkan semua aspek yang ada) melainkan terfokus pada eksegesis dan penafsiran masing-masing pandangan terhadap Wahyu 20:1-6. Penggalian terhadap Wahyu 20:1-6 difokuskan pada 5 hal yang menjadi titik permasalahan, yaitu: pertama, hubungan antara pasal 19 dengan pasal 20; kedua, sifat pengikatan Setan; ketiga, lokasi berlangsungnya kerajaan milenium; keempat, siapakah orang-orang yang memerintah bersama Kristus; dan kelima, tentang 2 macam kebangkitan. Pemaparan tentang premilenialisme juga tidak dibedakan antara premilenialisme historis dan premilenialisme dispensasional, melainkan bersifat umum.

Definisi Milenium
Kata millennium (Ing.) berasal dari 2 kata bahasa Latin, mille yang berarti seribu dan annus yang berarti tahun. Kata ini dipakai dalam pengertian periode waktu seribu tahun, yang mengacu kepada Wahyu 20:1-6. Kata bahasa Yunani yang dipakai dalam perikop tersebut adalah ciliaj. Dari kata inilah muncul ajaran atau doktrin tentang kerajaan milenium. Milenialisme atau chiliasm adalah kepercayaan kepada kerajaan mesianik yang sementara dan berlangsung di bumi akan terealisasi suatu saat di masa yang akan datang. Sementara artinya meskipun berlangsung dalam periode waktu yang panjang, kerajaan itu tidak dianggap keadaan ultimat. Berlangsung di bumi artinya kerajaan itu akan berlangsung di bumi dengan Yerusalem sebagai pusatnya. Mesianik artinya ada satu individu, sang Juruselamat, yang berperan sentral di dalam terwujudnya dan berlangsungnya kerajaan itu.

KONSEP MILENIUM DALAM APOKALIPTISISME YAHUDI
Kitab Wahyu tergolong dalam jenis sastra apokaliptik. Kata “apokaliptik” berasal dari kata bahasa Yunani avpokalupsij yang berasal dari kata kerja avpokaluptw yang artinya membuka selubung atau menyingkapkan suatu rahasia. Kitab-kitab dalam Alkitab yang di dalamnya terdapat sastra apokaliptik di antaranya adalah Daniel, Yehezkiel, Zakharia dan Wahyu. Istilah literatur apokaliptik dipakai mengacu kepada bentuk atau gaya penulisan yang bercirikan apokaliptik sedangkan apokaliptisisme adalah istilah yang mengacu kepada cara pandang apokaliptik yang mendominasi orang-orang Yahudi dari abad ke-2 SM hingga abad ke-2 M (biasanya disebut Second Temple Judaisme, orang-orang Yahudi yang hidup pada jaman Bait Suci yang kedua). Apokaliptisisme berpusat pada pengharapan orang Yahudi akan intervensi segera dari Allah ke dalam sejarah manusia di dalam cara yang pasti dan tegas untuk menyelamatkan umat--Nya dan menghukum musuh-musuh mereka dengan menghancurkan tatanan dunia (kosmos) berdosa yang ada sekarang dan dengan merestorasi atau menciptakan ulang kosmos itu di dalam kesempurnaan yang murni. Wawasan dunia (worldview) ini muncul ketika bangsa Yahudi mengalami krisis politik dan sosial yang berat akibat penjajahan sehingga fokus pandangan mereka berubah dari melihat realita di depan mata menjadi melihat realita ilahi yang tidak terlihat karena pesimis dengan keadaan mereka yang tertindas sehingga mereka hanya berharap kepada intervensi Allah.
Skenario eskatologi apokaliptisisme berpusat pada kepercayaan bahwa tatanan dunia yang sekarang—yang jahat dan bersifat menindas—ada di bawah kendali sementara dari Setan dan manusia-manusia yang menjadi antek-anteknya. Tatanan dunia yang sekarang akan segera dihancurkan oleh Allah dan digantikan dengan tatanan dunia yang baru dan sempurna seperti di Eden. Selama hidup di dunia yang jahat ini, umat Allah adalah kaum minoritas tertindas yang dengan antusias menantikan intervensi Allah atau melalui perantaraan Mesias. Transisi dari era jaman yang lama ke era jaman yang baru akan ditandai dengan serangkaian pertempuran akhir antara umat Allah dengan manusia-manusia sekutu Setan. Hasilnya, musuh-musuh Allah akan dikalahkan dan dihancurkan. Inaugurasi jaman yang baru akan dimulai dengan kedatangan Allah atau Mesias yang ditunjuk-Nya untuk menghakimi orang-orang jahat dan memberi upah kepada orang-orang benar dan akan diakhiri dengan penciptaan atau transformasi alam semesta.
Mengenai konsep kerajaan Mesianik, di dalam tradisi apokaliptik Yahudi sendiri ada 2 pendapat. Ada yang berpendapat kerajaan Mesianik dimulai langsung ketika hadirnya kerajaan Allah yang kekal. Tetapi ada yang berpendapat kerajaan Mesianik bersifat sementara waktu dan akan diikuti dengan kerajaan Allah yang kekal. Ada yang berpendapat kerajaan Mesianik ini bersifat fisik tetapi ada pula yang berpendapat kerajaan ini bersifat surgawi. Konsep kerajaan Mesianik yang bersifat sementara waktu berfungsi sebagai kerajaan transisi antara era jaman sekarang dengan era jaman yang akan datang. Menurut pandangan ini, kerajaan Allah lebih sentral dan lebih penting dibandingkan kerajaan Mesianik. Dengan demikian, kerajaan Mesianik yang transisional ini berfungsi sebagai antisipasi akan keadaan teokrasi kekal dan sempurna yang baru akan eksis ketika kondisi yang sekarang direstorasi selamanya.

AMILENIALISME
Kilasan Singkat tentang Amilenialisme
Istilah amilenialisme bukan berarti menunjukkan orang amilenialisme tidak menerima adalah kerajaan milenium. Amilenialisme dimengerti sebagai kedatangan Kristus yang kedua tanpa adanya milenium. Orang amilenialisme tidak mempercayai adanya kerajaan milenium secara harafiah yang mengikuti kedatangan Kristus yang kedua. Namun mereka percaya bahwa milenium itu sudah terjadi/terwujud dari sejak kedatangan Kristus yang pertama hingga kedatangan Kristus yang kedua. Mereka menafsirkan milenium sebagai pemerintahan oleh jiwa orang-orang percaya yang telah meninggal dan yang sekarang ini ada dalam masa antara (intermediate state) yaitu sedang bersama-sama Kristus di sorga. Amilenialis percaya bahwa Kerajaan Allah sekarang ini telah hadir di dalam dunia dalam wujud pemerintahan Kristus atas umat--Nya melalui firman dan Roh Kudus. Namun, pada saat yang sama, orang-orang amilenialis juga sedang menantikan penyempurnaan Kerajaan Allah di masa yang akan datang, di dalam bumi yang baru. Sama seperti premilenialis, amilenialis juga percaya bahwa sebelum kedatangan Kristus yang kedua akan terjadi: penyebaran Injil ke seluruh bangsa, kesusahan dan murtad serta munculnya Antikristus. Pada saat Kristus datang kembali, akan terjadi kebangkitan umum, baik orang-orang percaya maupun tidak percaya.
Penafsiran Amilenialisme terhadap Wahyu 20:1-6
Untuk metode penafsiran kaum amilenialisme, diwakili oleh G. K. Beale di dalam tafsiran kitab Wahyunya. Beale setuju dengan sistem penafsiran kitab Wahyu yang digunakan oleh Hendriksen, yaitu pendekatan paralelisme progresif yang membagi kitab Wahyu dalam tujuh bagian yang bersifat paralel satu sama lain. Tiap-tiap paralel menggambarkan tentang sejarah gereja dan dunia mulai dari kedatangan Kristus yang pertama hingga kedatangan--Nya yang kedua. Dengan demikian ada rekapitulasi (pengulangan) di dalam setiap bagian yang paralel tersebut. Ketujuh bagian tersebut adalah: pasal 1-3, 4-7, 8-11, 12-14, 15-16, 17-19, dan 20-22. Berdasarkan konsep rekapitulasi di atas maka 20:1 tidak menggambarkan peristiwa yang akan mengikuti kedatangan Kristus yang kedua melainkan membawa perjalanan sejarah kembali ke permulaan era PB yaitu kedatangan Kristus yang pertama. Pasal 20:1-3 menggambarkan kekalahan Iblis pada saat kedatangan Kristus yang pertama. Pasal 20:11-15 menggambarkan penghakiman terakhir yang diikuti langsung dengan kedatangan Kristus yang kedua dan hadirnya bumi yang baru (pasal 21-22; bdk. Mat. 16:27; 25:31-32; 2Tes. 1:7-10; Yud. 14-15). Dengan penafsiran demikian maka kerajaan milenium yang digambarkan dalam Wahyu 20:4-6 adalah masa yang berlangsung setelah kedatangan Kristus yang pertama dan sebelum kedatangan Kristus yang kedua. Untuk mendukung rekapitulasi ini, Beale mengajukan argumentasi bahwa kata kerja kai yang terdapat di awal 20:1 bukanlah kata penghubung yang mengindikasikan kesinambungan historis dengan pasal 19 melainkan hanya sebagai transisi antara satu visi dengan visi berikutnya (sarana penghubung visi).
Beale berpendepat bahwa kerajaan milenium terjadi di surga dengan alasan adalah bahwa dari 46 kali penggunaan kata “tahta” (Yun. qronoj) dalam kitab Wahyu, 42 kali penggunaannya dengan jelas mengacu kepada sorga (meskipun di dalam 22:1, 3 mengacu kepada langit dan bumi yang baru). Untuk mendukung lokasi di sorga ini, kaum amilenialis membandingkan 20:4b dengan 6:9 yang menggambarkan jiwa-jiwa para martir itu ada di bawah mezbah di sorga.
Mengenai pengikatan Setan, Beale berpendapat itu bukanlah berarti membatasi seluruh aktivitas Setan tetapi menunjukkan kedaulatan Kristus—yang telah mati dan bangkit—atas Setan. Beale menafsir kata “kunci” di 20:1 sama dengan di 1:18 yaitu mengkonotasikan kedaulatan Kristus atas alam maut. Setan tidak lagi punya otoritas atas alam maut. Kata “melemparkan” (evkballw) bukan berarti membatasi Setan dalam segala hal melainkan adalah menjaga Setan supaya tidak lagi mencegah segala bangsa untuk dibawa kepada Kristus (bdk. Yoh. 12:31-32). Pemeteraian berarti memiliki otoritas atas sesuatu. Beale membandingkannya dengan meterai Allah pada orang-orang percaya yang berarti perlindungan atau jaminan keselamatan atas orang percaya sebab meterai itu tidak melindungi mereka dari segala macam penderitaan dan penganiayaan. Menurut Beale, peristiwa diikat dan dibuangnya Setan ke dalam jurang maut telah terjadi pada peristiwa kebangkitan Kristus. Pengikatan Setan di sini berarti Setan dibatasi hanya dalam hal menghalangi bangsa-bangsa percaya kepada Kristus tetapi aktivitas kejahatan lainnya tetap berlanjut. Tetapi, pada akhir jaman (yaitu setelah berakhirnya kerajaan milenium) Setan akan dilepaskan dan dengan penuh kemarahan mengumpulkan bangsa-bangsa fasik untuk melakukan serangan gencar terhadap gereja (Beale membandingkannya dengan 2Tes. 2:6-12). Untuk lebih memantapkan argumentasinya bahwa Setan masih beraktivitas di bumi, Beale mengajukan konsep bahwa “surga” dan “jurang maut” tidak bisa diartikan secara spasial terpisah dari bumi melainkan suatu dimensi rohani yang ada bersebelahan atau ada di tengah-tengah bumi ini (dimensi sorgawi dapat dilihat di 2Raj. 6:15-17 dan dimensi Satanik di Ef. 6:10-17; 2Kor. 10:3-5).
Mengenai siapakah yang duduk di atas tahta, Beale lebih memilih bahwa mereka adalah orang-orang percaya yang dimuliakan bersama para malaikat dan tua-tua (4:4; 11:16) karena sama-sama dikatakan duduk di atas tahta. Menurut Beale, karena dikombinasikan dengan kata “dipenggal” maka kata “jiwa” (yuch) harus dibedakan dari tubuh. Sebab jika tidak maka ayat 4b akan menggambarkan sesuatu yang aneh, “tubuh-tubuh dari mereka yang telah dipenggal”. Jika dikaitkan dengan keberadaan tahta yang ada di sorga dan bukan di bumi maka jiwa-jiwa ini adalah jiwa-jiwa kekal dari orang-orang percaya yang tidak ikut mati bersama tubuh mereka setelah dipenggal (disembodied soul). Bagi Beale, para martir ini adalah figur yang merepresentasikan semua orang percaya atau gereja, sedangkan “orang-orang mati” di ayat 5 merepresentasikan orang-orang tidak percaya yang akan dibangkitkan pada akhir jaman. Mengenai kata kerja “hidup kembali” (Yun. evzhsan), Beale berpandangan sama seperti Witherington yang mengartikannya sebagai aorist ingresif yang diterjemahkan “came to life” dengan mengacu kepada 2:8, 13:14, Lukas 15:32 dan Roma 14:9.
Mengenai masalah 2 kebangkitan, Beale berpendapat seperti kaum amilenialis lainnya yaitu kebangkitan pertama bersifat rohani (yaitu jiwa orang-orang percaya yang meninggal dibawa ke sorga untuk memerintah bersama Kristus dalam masa antara) dan kebangkitan kedua bersifat literal (yaitu kebangkitan orang mati secara fisik). Beale berpendapat kata zaw (bentuk dasar dari kata evzhsan, “hidup kembali” di 4c) selain mengacu kepada kebangkitan fisik (1:18; 2:8) dan eksistensi secara fisik (16:3; 19:20) juga memiliki konotasi figuratif yaitu eksistensi secara rohani (3:1; dan mungkin juga 7:17; 13:14). Lebih lanjut, Beale menyelidiki seluruh PB mengenai penggunaan bersamaan dari dua kata avnastasij (“kebangkitan” di 20:5-6) dan zaw (atau yang serumpun, zwh), dan ia menemukan bahwa kedua kata itu dapat digunakan secara bergantian baik untuk kebangkitan spiritual maupun kebangkitan fisik di dalam konteks dekat yang sama (bdk. Rm. 6:4-13; Yoh. 5:24-29). Dari hasil penyelidikan ini, Beale menyimpulkan bahwa kedua kata itu dapat memiliki makna ganda di dalam konteks yang sama. Untuk mendukung perbedaan natur kedua kebangkitan ini, Beale mengutip analisis Kline yaitu: karena “kematian kedua” di ayat 6 (kematian rohani dari orang-orang tidak percaya) berbeda natur dengan kematian pertama orang-orang percaya (kematian secara fisik sebagai martir) maka adalah masuk akal jika kebangkitan pertama (ay. 4b, kebangkitan orang-orang percaya yang bersifat rohani) berbeda dengan kebangkitan kedua (ay. 5, kebangkitan orang-orang tidak percaya yang bersifat fisik).

PREMILENIALISME
Kilasan Singkat tentang Premilenialisme
Premilenialisme adalah pandangan yang percaya bahwa kedatangan Kristus yang kedua akan terjadi sebelum milenium. Mereka percaya bahwa Kristus secara kasat mata akan memerintah di bumi ini selama seribu tahun bersama orang-orang percaya. Menurut mereka sejumlah peristiwa akan mendahului kedatangan Kristus yang kedua: penginjilan kepada bangsa-bangsa, masa kesusahan, murtad atau pemberontakan yang hebat dan munculnya Antikristus. Gereja harus melewati semua kesusahan ini.
Kedatangan Kristus yang kedua tidak akan terjadi dalam dua tahap melainkan hanya satu peristiwa saja. Ketika Kristus datang kembali, orang-orang percaya yang telah mati akan dibangkitkan dan orang-orang percaya yang masih hidup akan diubahkan, dan setelah itu kedua kelompok orang percaya ini akan diangkat bersama-sama untuk bertemu dengan Tuhan di awan-awan. Setelah perjumpaan ini, orang-orang percaya akan mendampingi Kristus turuh ke bumi. Setelah Kristus turun ke bumi, Antikristus akan dibinasakan. Pada masa ini atau sebelumnya sejumlah besar orang Yahudi akan bertobat percaya kepada Kristus dan mereka akan dikumpulkan bersama orang-orang percaya non-Yahudi dan akan memerintah bersama-sama dengan Kristus. Dosa dan kematian masih tetap ada. Kejahatan akan sangat dibatasi dan kebenaran akan menguasai seluruh bumi. Ini adalah zaman yang penuh kedamaian, keadilan dan kemakmuran.
Menjelang milenium berakhir, Iblis yang selama ini diikat akan dilepaskan lagi dan kembali menyesatkan bangsa-bangsa. Iblis akan mengumpulkan orang-orang fasik untuk menyerang kemah orang-orang kudus. Namun api akan turun dari sorga atas orang-orang durhaka dan Iblis akan dicampakkan ke dalam lautan api. Di akhir milenium akan terjadi kebangkitan orang-orang yang tidak percaya. Hal ini kemudian diikuti oleh penghakiman. Mereka yang namanya tertulis dalam kitab kehidupan akan masuk ke dalam kehidupan kekal, sedangkan mereka yang namanya tidak tercantum dalam kitab tersebut akan dilemparkan ke dalam lautan api. Setelah semuanya itu, semua umat manusia akan masuk ke dalam keadaan akhir: orang-orang tidak percaya menjalani penghukuman kekal di neraka sedangkan orang-orang percaya akan hidup selama-lamanya di langit dan bumi yang baru yang telah disucikan dari segala kejahatan.

Penafsiran Premilenialisme terhadap Wahyu 20:1-6
Untuk metode penafsiran kaum premilenialisme diwakili oleh Ben Witherington III di dalam tafsiran kitab Wahyunya (lihat catatan kaki no. 1). Witherington melihat ada kesinambungan antara pasal 19 dengan pasal 20. Pasal 19:11-21:8 adalah satu kesatuan literer. Alasannya: pertama, di dalam bagian ini Yohanes ingin memparalelkan antara dua kota besar: Roma dan Yerusalem baru ; kedua, bagian ini memperlihatkan satu kesatuan skenario yang berurutan secara kronologis dan logis yaitu dimulai dari penghakiman dan kesusahan besar yang membawa kepada milenium yang diikuti dengan penghakiman akhir terhadap binatang itu, nabi-nabi palsu dan Setan dan kemudian pada akhirnya muncul langit dan bumi yang baru ; ketiga, ada satu kesatuan unit penglihatan yang terdiri dari 7 visi yang diawali dengan kalimat kai eivdon (“Dan aku melihat”, 19:11-16, 17-18, 19-21; 20:1-3, 4-10, 11-15; 21:1-8).
Kaum premilenialis beranggapan kerajaan seribu tahun terjadi kasat mata di bumi dan bukan di sorga. Argumentasi yang Witherington berikan adalah : pertama, pengikatan Setan terjadi di bumi. Malaikat yang ditugaskan mengikat Setan dikatakan “turun dari sorga”. Di bagian sebelumnya (12:8-9) dikatakan bahwa Setan telah dilemparkan ke bumi. Dan tujuan dari pengikatan Setan adalah “supaya ia jangan menyesatkan bangsa-bangsa.” Ketiga hal ini menunjukkan bahwa pengikatan setan terjadi bukan di sorga melainkan di bumi. Kedua, frase “mereka memerintah sebagai raja bersama-sama dengan Kristus” (4c) dan “mereka akan menjadi imam-imam Allah dan Kristus, dan akan memerintah sebagai raja bersama-sama dengan Dia” (6b) memiliki kaitan atau paralel yang erat dengan 5:10 yang mengatakan, “mereka menjadi suatu kerajaan dan menjadi imam-iman bagi Allah, dan mereka akan memerintah sebagai raja di bumi.” Perhatikan kata “di bumi” yang menunjukkan bahwa pemerintahan Kristus bersama orang-orang percaya itu terjadi di bumi. Fakta ini juga didukung oleh 11:15-17 yang mengatakan bahwa pemerintahan dunia ini telah diambil alih oleh pemerintahan Allah dan Kristus dan bahwa hal ini akan diikuti dengan bertahtanya Allah sebagai raja selama-lamanya di bumi. Di dalam 11:18 dikatakan bahwa pemerintahan Allah ini dihubungkan dengan penghakiman terakhir atas bangsa-bangsa dan juga pemberian upah kepada hamba-hamba Allah, sama seperti yang dikatakan dalam 20:1-4. Yohanes sepertinya percaya bahwa ada satu titik di masa yang akan datang ketika pemerintahan kerajaan dunia ini akan menjadi kerajaan Allah.
Mengenai pengikatan Setan, Witherington mengatakan bahwa Yohanes menggunakan kata-kata kerja yang kuat untuk mendeskripsikan tindakan malaikat yang mengikat Setan itu: ia menangkapnya, mengikatnya selama seribu tahun, melemparkannya ke dalam jurang maut, menutup jurang maut itu dan memeteraikannya. Penggambaran ini ingin menunjukkan bahwa Setan benar-benar disingkirkan dari bumi ini, tidak bisa berkutik lagi, tidak bisa melakukan penyesatan lagi. Tujuan dari pengikatan ini bersifat preventif bukan punitif (menghukum) yaitu supaya tidak menyesatkan siapapun.
Mengenai siapakah orang-orang yang duduk di atas tahta memerintah bersama Kristus, Witherington berpendapat mereka bukanlah tua-tua atau gabungan orang-orang percaya bersama tua-tua dan malaikat melainkan hanya orang-orang percaya saja (termasuk di dalamnya para martir). Alasannya adalah pertama, di dalam kitab Wahyu, tua-tua tidak pernah digambarkan sedang menghakimi tetapi hanya menyembah dan memuji; kedua, orang-orang ini dikatakan hidup kembali. Menurutnya, frase “orang-orang” di 4a mengacu kepada sekelompok besar orang-orang percaya secara umum sedangkan frase “jiwa-jiwa mereka yang telah dipenggal” mengacu kepada sekelompok kecil para martir yang termasuk di dalam kelompok besar di atas. Witherington menafsir kata “jiwa” (yuch) sebagai berikut: pertama, Yohanes menggunakan kata ini untuk menggambarkan kondisi para martir ini sebelum dibangkitkan dari kematian ; kedua, kata “jiwa” di sini bukan berarti jiwa-jiwa kekal yang tidak ikut mati bersama tubuh setelah kematian (disembodied soul) melainkan mengacu kepada hayat atau nyawa (bdk. 12:11 “mereka tidak mengasihi nyawa mereka”; lihat juga 8:9; 12:11; 16:3; 18:13) . Hoehner, mengutip Deere, mengatakan bahwa “jiwa” dalam PB dapat berarti seluruh keberadaan diri seseorang (bdk. Kis. 2:41, 43; 3:23). Mengenai frase “hidup kembali” (Yun. evzhsan) mereka menafsirkannya sebagai kebangkitan dari kematian (aorist ingresif, “came to life”) dengan alasan karena konteks terjadinya kerajaan seribu tahun adalah di bumi. Hoehner juga mendukung hal ini dengan mengatakan bahwa dari 12 kali penggunaan kata kerja zaw di dalam kitab Wahyu, penggunaannya yang normal adalah mengacu kepada hidup secara fisik (1:18; 2:8; 4:9-10; 10:6; 13:14; 19:20) dan hanya 1 kali mengacu kepada kehidupan rohani orang percaya (3:1). Mengenai kaitan yang erat antara 20:4-6 dengan 6:9 (seperti yang diusulkan kaum amilenialisme), Witherington berpendapat kedua bagian itu berbeda dan tidak bisa disamakan/diparalelkan. Di 6:9 dikatakan para martir itu di bawah mezbah, bukan di atas tahta, dan bukan sedang menghakimi, memerintah atau bertahta bersama Kristus melainkan sedang bertanya.
Mengenai kepastian terjadinya kerajaan seribu tahun di masa yang akan datang, Witherington meneliti tensa yang Yohanes gunakan. Di 20:4c Yohanes menggunakan tensa aorist untuk kata kerja “hidup kembali” untuk menunjukkan sense of certainty, suatu kepastian bahwa para martir itu pasti akan dibangkitkan. Sedangkan, di 20:6b Yohanes menggunakan tensa future untuk kata kerja “akan memerintah” untuk mengklarifikasi bahwa di dalam pikirannya kerajaan seribu tahun itu masih ada di masa yang akan datang. Perubahan tensa dari aorist menjadi future menunjukkan bahwa Yohanes meyakini visi yang dilihatnya pada saat itu akan menjadi kenyataan di masa yang akan datang.
Mengenai terjadinya 2 kali kebangkitan, Witherington berpendapat bahwa keduanya adalah sama-sama kebangkitan tubuh. Kebangkitan yang pertama adalah kebangkitan orang-orang percaya untuk memerintah bersama Kristus sedangkan kebangkitan yang kedua adalah kebangkitan orang-orang tidak percaya untuk dihakimi (bdk. 20:11-15). Mengenai lamanya kerajaan milenium itu, Witherington tidak memberikan jangka waktu yang spesifik karena ia mengakui bahwa angka-angka di dalam kitab Wahyu bersifat simbolik.

EVALUASI DAN TANGGAPAN
Evaluasi terhadap Kedua Pandangan
Dari pemaparan di atas, dapat terlihat bahwa kedua pandangan sudah melakukan eksegesis dan penelitian yang komprehensif terhadap Wahyu 20:1-6. Masing-masing pandangan mengajukan argumentasi yang logis dan alkitabiah. Namun, kelemahan dari keduanya adalah terlalu berfokus pada kerajaan milenium itu digenapi dan bukannya melihat pada maksud dan tujuan rasul Yohanes menuliskan perikop ini di dalam konteks keseluruhan kitab Wahyu dan di dalam milieu jaman itu.
Sanggahan yang biasa diajukan kaum premilenialis terhadap amilenialisme adalah sebagai berikut. Pertama, pengikatan Setan yang hanya bersifat parsial (pembatasan supaya tidak menghalangi bangsa-bangsa bertobat sementara aktivitas mencobai lainnya masih berlanjut) perlu dipertanyakan. Dapatkah ditarik garis pembedaan yang jelas antara aktivitas Setan yang bersifat menghalangi orang bertobat dan yang bersifat menggoda atau mencobai? Di dalam seluruh PB, keberadaan dan aktivitas Setan atau Iblis digambarkan sangat nyata: seperti singa yang mengaum dan mencari mangsa (1Ptr. 5:8), penguasa dunia (Yoh. 16:11), penguasa kerajaan angkasa (Ef. 2:2), penghulu dunia yang gelap (Ef. 6:12) yang penuh tipu muslihat (Ef. 6:11) dan menjerat orang percaya (1Tim. 3:7). Fakta-fakta ini sulit menunjukkan bahwa saat ini pengaruh dan pekerjaan Setan sedang dibatasi. Yohanes pun menggambarkan di Wahyu 12:7-12 bahwa Setan atau Iblis sedang berada di bumi ini dan aktif menyesatkan seluruh dunia. Kedua, di dalam apokaliptisisme Yahudi, pemahaman tentang kerajaan milenium adalah kerajaan Mesias yang bersifat futuris (di masa yang akan datang) dan hadir secara fisik di bumi.
Sanggahan yang umumnya diajukan kaum amilenialis untuk premilenialisme adalah Pertama, bagaimana mungkin orang percaya dengan tubuh kemuliaan masih hidup di bumi yang lama yang masih ada dosa dan kematian? Bukankah tubuh kemuliaan ditujukan untuk kehidupan dalam bumi yang baru? Mengapa pula Kristus yang telah dimuliakan kembali ke bumi di mana dosa dan kematian masih tetap ada? Kaum premilenialis menjawabnya dengan mengacu kepada keberadaan Yesus selama 40 hari di bumi setelah kebangkitan-Nya. Yesus dengan tubuh kemuliaan-Nya hidup dan berelasi dengan manusia-manusia lainnya yang masih bertubuh lama. Kedua, di dalam Yohanes 5:28-29 mengatakan bahwa kebangkitan orang percaya dan tidak percaya terjadi pada saat yang bersamaan. Ketiga, di dalam Injil (Mat. 22:23-33; Mrk. 12:18-27; Luk. 20:27-40), ketika Yesus sedang bertanya jawab dengan orang-orang Saduki tentang kebangkitan, Ia berkata bahwa pada waktu kebangkitan, orang tidak kawin mengawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga. Jadi, bagaimana dengan kerajaan milenium versi premilenialisme yang di dalamnya orang-orang masih hidup seperti di bumi lama, kawin dan mengawinkan?

Pandangan Alternatif: Kerajaan Milenium sebagai Keadaan Akhir Orang-Orang Percaya di dalam Langit dan Bumi yang Baru
Untuk menanggapi perbedaan-perbedaan dan perdebatan-perdebatan yang ada tentang milenium, paper ini mencoba memaparkan pandangan alternatif. Pandangan alternatif ini dilontarkan berdasarkan observasi terhadap tujuan dan metode penulisan kitab Wahyu itu sendiri serta wawasan dunia apokaliptisisme yang mempengaruhi rasul Yohanes dan jemaat pembaca kitab Wahyu pada saat itu.
Dari tujuan dan metode penulisan kitab Wahyu, ada beberapa poin penting yang harus diperhatikan. Pertama, tujuan penulisan kitab Wahyu adalah ingin memperlihatkan apa yang terjadi di sorga (aspek spasial) dan di masa yang akan datang (aspek temporal), dengan maksud mengajak pembacanya—orang-orang percaya yang sedang mengalami penindasan dan penganiayaan—mengidentifikasikan diri dengan umat Allah di sorga dan di masa yang akan datang sehingga pandangan mereka tertuju kepada kedaulatan dan rencana Allah serta memperoleh perspektif yang benar akan situasi sulit yang sedang mereka alami. Kitab Wahyu sepertinya ingin mengajak pembacanya melihat dunia dari 2 titik puncak, yaitu tahta Allah (God’s throne) dan masa depan yang Allah rancangkan (God’s future) sehingga pemahaman pembacanya akan dunia ini ditransformasi, melihat kedaulatan Allah atas dunia ini dan atas jalannya sejarah. Yohanes ingin mengubah cara pandang pembacanya, bahwa realita yang sesungguhnya bukanlah tampak di depan mata mereka melainkan realita sorgawi dan futuris yang diperlihatkannya melalui serangkaian visi.
Kedua, di dalam pikiran Yohanes tidak ada sedikitpun terbersit ide untuk menduga atau memperkirakan suatu waktu ketika simbol-simbol atau visi-visi yang dilihatnya satu per satu digenapi dalam peristiwa historis. Bagi Yohanes, simbol atau visi dimaksudkan untuk menstimulasi pembacanya melihat dunia apa adanya (dengan perspektif yang tepat).
Ketiga, kitab Wahyu mengandung banyak bahasa simbolik yang menjelaskan serangkaian visi yang tidak bisa semuanya ditafsirkan secara literal. Marshall memberikan contoh bahwa Kristus di dalam satu visi tampak sebagai seorang yang dari mulutnya keluar sebilah pedang tajam sedangkan di visi lain tampak sebagai seekor anak domba yang seperti disembelih dan di visi yang lain lagi juga digambarkan sebagai seorang manusia dengan sebilah sabit di tangannya. Jelas bahwa penggambaran tentang Kristus di atas adalah bahasa simbolis yang ingin menggambarkan kata-kata atau firman-Nya yang penuh kuasa, karya pengurbanan-Nya sebagai penebus dosa dan fungsi-Nya sebagai hakim. Kitab Wahyu berisi simbol-simbol yang menggambarkan konflik antara Allah dan umat-Nya di satu sisi dan kuasa jahat di sisi lain, yang semakin memanas sejak kedatangan Kristus yang pertama. Yohanes sepertinya memasukkan setiap simbol yang ia ketahui ke dalam kitab yang ditulisnya. Yohanes mengambil simbol-simbol apokaliptik yang beredar saat itu dan menggunakannya sesuai dengan keinginannya untuk menggambarkan visi yang dilihatnya dan untuk menyampaikan pesannya kepada para pembacanya.
Keempat, kitab Wahyu banyak berisi repetisi-repetisi. Yohanes menggunakan pengulangan ini untuk menjelaskan suatu poin dari sisi-sisi lain yang berbeda atau suatu peristiwa dari sudut-sudut pandang yang berbeda. Misalnya, di dalam Wahyu 19 sebenarnya sudah diberitahukan mengenai perjamuan kawin Anak Domba namun sang Pengantin Pria belum muncul hinggal pasal 21. Mengenai kota Allah yang digambarkan sedemikian megahnya di pasal 21-22 sebenarnya juga sudah disebutkan sebelumnya di 14:20 dan 20:9. Memperhatikan kedua pengulangan di atas, sebenarnya bagian tentang milenium menjadi sebuah sisipan yang membingungkan.
Kelima, deskripsi kerajaan milenium yang digambarkan Yohanes sangat tidak berkembang. Yang dapat diketahui adalah bangsa-bangsa—yang kemungkinan besar non-Kristen—tetap eksis, sekelompok orang-orang percaya duduk di atas tahta dan memerintah bersama Kristus selama seribu tahun, dan Setan tidak aktif menipu bangsa-bangsa. Hanya itu saja yang dapat diketahui. Selain fakta di atas, tambahan-tambahan lainnya bersifat imajinatif. Bagaimanakah kehidupan manusia di bumi selama seribu tahun itu, apakah berlangsung normal adanya seperti kehidupan manusia sekarang? Apakah orang-orang percaya menikah dan mempunyai anak? Bagaimanakah bentuk pemerintahan milenium ini dan praktek pelaksanaannya seperti apa? Jika Setan tidak bisa menipu manusia, apakah masih ada dosa dan kejahatan? Dan, di manakah orang-orang Yahudi pada saat itu? Jawabannya, tidak tahu. Pada dasarnya deskripsi Yohanes tidak berkembang dan sepertinya ia hanya ingin memperlihatkan kontras antara orang-orang percaya yang hidup dan bertahta dengan kekalahan Setan beserta antek-anteknya.
Dengan meneliti wawasan dunia apokaliptisisme Yahudi yang mempengaruhi rasul Yohanes dan jemaat pembaca kitab Wahyu pada saat itu, ada beberapa poin penting yang harus diperhatikan. Pertama, pengharapan gereja mula-mula akan kedatangan Kristus yang kedua adalah bahwa Kristus akan datang di dalam generasi mereka (1Tes. 4:13-18; bagi Paulus, generasinya tidak akan mati sebelum Kristus datang). Bagi mereka, kenaikan Kristus ke sorga akan segera diikuti dengan kedatangan-Nya yang kedua. Ada sense of urgency bahwa waktunya sudah dekat (bdk. Why. 1:3; 22:20; Rm. 13:12; Ibr. 10:25; 1Ptr. 4:7).
Kedua, Charles E. Hill dalam bukunya, Regnum Caelorum, menemukan fakta-fakta penting yang harus diperhatikan setelah ia melakukan penelitian yang komprehensif terhadap pandangan Kekristenan mula-mula (apokaliptik Kristen hingga bapa-bapa gereja) tentang kerajaan milenium. Pertama, Kekristenan mula-mula memiliki konsep milenium yang berbeda-beda, ada yang milenialis dan ada pula yang non-milenialis. Kedua, tafsiran para bapa gereja tentang milenium juga bervariasi, ada yang literal, ada yang alegoris dan ada pula yang simbolik. Ketiga, ada perbedaan urutan kebangkitan dan kerajaan di dalam konsep milenium Yahudi dan kitab Wahyu. Di dalam milenialisme Yahudi, kerajaan milenium mendahului kebangkitan sehingga tidak ada satupun orang-orang yang dibangkitkan ikut ambil bagian di dalam kerajaan milenium. Sedangkan di dalam Wahyu 20, kerajaan milenium adalah pemerintahan bagi orang-orang yang telah dibangkitkan terlebih dahulu. Keempat, di dalam Wahyu 20 tidak disebutkan beberapa ciri khas yang umumnya terdapat dalam konsep milenium Yahudi, seperti bumi yang subur menumbuhkan hasil yang sangat berlimpah, binatang-binatang hidup harmonis dengan manusia dan dengan damai tunduk kepada manusia, umur manusia semakin panjang, Yerusalem dibangun kembali, bangsa-bangsa lain menjadi pelayan dan kesepuluh suku Israel lainnya akan kembali. Satu-satunya acuan mengenai kondisi di bumi selama milenium berlangsung adalah ketidakmampuan si ular tua untuk menyesatkan bangsa-bangsa dan mengumpulkan mereka untuk melawat umat Allah. Ciri-ciri tipikal mengenai milenium justru bukannya ditemukan di dalam Wahyu 20 melainkan di dalam Wahyu 21-22 yang menggambarkan langit dan bumi yang baru pascamilenium.
Dari observasi-observasi di atas dapat disimpulkan bahwa rasul Yohanes memang mengadaptasi konsep apokaliptisisme Yahudi mengenai kerajaan Mesianik namun ia menafsirkan ulang atau mengubah konsep itu sesuai dengan wawasan dunia eskatologi Kristen dari gereja mula-mula. Di dalam wawasan dunia eskatologi Yahudi sejarah dibagi menjadi 2 era jaman: tatanan dunia sekarang yang sudah rusak dan berdosa serta tatanan dunia baru di masa yang akan datang. Namun, sejak kedatangan Kristus ke dalam dunia (Christ event, peristiwa Kristus), jemaat mula-mula melihat sejarah yang tadi terbagi dua sekarang menjadi terbagi tiga. Kuasa dari tatanan dunia yang akan datang—yaitu kerajaan Allah—telah tiba dan telah hadir di dalam dunia yang lama ini. Mereka meyakini bahwa melalui peristiwa kematian dan kebangkitan-Nya, Kristus telah menghadirkan kerajaan Allah di era jaman yang sekarang. Mereka meyakini bahwa mereka sekarang sudah berada di dalam kerajaan Kristus (Kol. 1:12-13) dan telah menjadi imamat yang rajani (1Ptr. 2:9). Rasul Yohanes pun memiliki wawasan dunia yang seperti ini yaitu bahwa orang-orang percaya sekarang telah memerintah bersama Kristus dan menjadi imam-imam Allah (Why. 1:6; 5:10, perhatikan penggunaan kata “telah”, tensa aorist, yang menunjukkan bahwa hal itu sudah terjadi); pemerintahan dunia ini telah diambil alih oleh pemerintahan Allah dan Kristus (Why. 11:15)
Namun demikian, jemaat mula-mula juga menyadari bahwa realisasi penuh dari kerajaan Allah ini baru terjadi ketika Kristus datang kali yang kedua, mengakhiri jaman yang sekarang dan memulai jaman yang baru. Rasul Yohanes pun memiliki konsep seperti ini. Ia menantikan penggenapan penuh dari pemerintahan Kristus bersama orang-orang kudus, sebab itu ia menuliskan visi tentang kerajaan milenium dan realisasi langit dan bumi yang baru di akhir dari kitab Wahyu. Bagi Yohanes, visi milenium adalah penggenapan penuh atau realisasi sepenuhnya dari pemerintahan Kristus bersama orang-orang kudus yang terjadi di dalam langit dan bumi yang baru (20:6, perhatikan penggunaan kata “akan”, tensa futuris, yang menunjukkan bahwa hal itu belum terjadi dan akan terjadi di masa depan).
Untuk mencapai maksudnya—menjelaskan kegemilangan keadaan akhir orang-orang kudus yang memerintah bersama Kristus di bumi yang baru, Yohanes mengambil simbol-simbol konsep kerajaan milenium Yahudi yang beredar saat itu dan menggunakannya dalam kitab Wahyu. Di dalam 3 pasal terakhir dari kitab Wahyu terlihat simbol-simbol yang mengasosiasikan konsep-konsep kerajaan Allah itu: kebangkitan orang-orang kudus, peperangan akhir, penghakiman akhir, langit dan bumi yang baru, Yerusalem baru, dan perjamuan kawin Anak Domba. Simbol-simbol kerajaan milenium dalam apokaliptik Yahudi diadopsi dan ditafsirkan ulang oleh Yohanes untuk menggambarkan maksudnya tentang kerajaan Allah. Yohanes, seperti wawasan eskatologis jemaat mula-mula, tidak menganut konsep kerajaan milenium Yudaisme yang temporal dan fisikal di bumi, seperti yang terlihat dalam penggambarannya tentang milenium di 20:1-6. Pertama, Yohanes tidak menempatkan ciri-ciri kerajaan milenium Yahudi di dalam 20:1-6 melainkan di pasal 21-22. Kedua, Yohanes tidak mengikuti urutan kerajaan-kebangkitan seperti yang ada di dalam konsep Yudaisme tentang kerajaan milenium melainkan ia membalikkannya menjadi kebangkitan dahulu baru kerajaan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pasal 20-22 dari kitab Wahyu adalah satu kesatuan yang ingin menggambarkan keadaan akhir dari orang-orang kudus. Semuanya itu adalah penggambaran mengenai keadaan akhir orang-orang percaya yang memerintah bersama Kristus di dalam langit dan bumi yang baru.
Namun demikian, bagaimana menjelaskan penggambaran Iblis yang dilepaskan dan memulai perang dengan orang-orang kudus di 20:7-10? Bagaimana menjelaskan kata-kata keterangan waktu “dan setelah” dan “berakhir” di dalam frase “Dan setelah masa seribu tahun itu berakhir” (20:7)? Apa maksud dari semuanya itu? Penjelasannya adalah sebagai berikut. Pertama, urutan kitab Wahyu tidak bisa dilihat secara kronologis sebab Yohanes tidak menyusunnya demikian, melainkan menggunakan repetisi-repetisi. Kedua, seperti yang dikatakan di atas bahwa Yohanes mengambil konsep milenium dari apokaliptik Yahudi untuk menggambarkan tentang kerajaan Allah dan keadaan akhir orang-orang kudus. Di dalam milenialisme Yahudi terdapat pula penggambaran tentang peperangan akhir antara Setan dan antek-anteknya dengan umat Allah. Mungkin Yohanes juga memasukkan penggambaran ini di dalam 3 pasal terakhir dari kitabnya, untuk menggambarkan kemenangan Allah yang pada akhirnya menghancurkan total Setan dan antek-anteknya. Ketiga, kata-kata keterangan waktu itu dipakai Yohanes sebagai sarana naratif di dalam penggambaran-penggambarannya. Yohanes menggunakan sarana-sarana naratif itu sebagai bagian dari penggambaran-penggambaran yang ingin diperlihatkannya dengan tujuan menjelaskan seluruh kebenaran yang melampaui batasan-batasan narasi. Sarana-sarana naratif itu tidak bisa ditafsirkan secara literal (dalam pengertian urutan waktu secara kronologis) melainkan harus ditafsirkan secara simbolik.

KESIMPULAN DAN RELEVANSI MILENIUM
Kesimpulan
Saat ini ada 2 pandangan besar mengenai milenium, yaitu amilenialisme dan premilenialisme. Premilenialisme adalah pandangan yang percaya bahwa Kristus datang sebelum kerajaan milenium berlangsung baru kemudian memerintah bersama orang-orang percaya di bumi. Amilenialisme adalah pandangan yang tidak mengakui kedatangan Kristus sebelum kerajaan milenium melainkan percaya bahwa kerajaan milenium itu sedang berlangsung sekarang di sorga sejak dari kedatangan Kristus yang pertama hingga kedatangan Kristus yang kedua, yaitu jaman gereja.
Kedua penafsiran di atas terlalu berfokus pada penggenapan milenium di dalam sejarah dan tidak melihat apa maksud semula Yohanes menulis tentang hal ini. Di dalam 3 pasal terakhir, Yohanes ingin menggambarkan keadaan orang-orang percaya di dalam langit dan bumi yang baru. Dengan mengambil simbol-simbol apokaliptik Yahudi tentang kerajaan milenium, rasul Yohanes menjelaskan mengenai keadaan akhir orang-orang percaya yang memerintah bersama Kristus. Bagi Yohanes, tidak ada kerajaan milenium yang bersifat temporal dan fisikal di bumi seperti pandangan orang Yahudi.

Relevansi Milenium Untuk Gereja Pada Saat Ini
Pertama, simbol milenium menyadarkan orang percaya bahwa usaha manusia tidak akan dapat membawa kepada masa keemasan. Pengharapan milenium mengisyaratkan kebangkrutan pengharapan manusia dan mengingatkan kita bahwa kita tidak dapat membangun masa depan di atas landasan pengharapan dan janji-janji dunia ini. Dalam hal ini kita melihat paradoks: di satu sisi terlihat terjadinya kemajuan dramatis dari teknologi yang semakin canggih dan efektif. Tetapi, di sisi lain, proses moral dan spiritual mengalami kemerosotan drastis. Kemajuan teknologi justru dipakai untuk merancang sistem keamanan dan perlindungan diri yang jauh lebih canggih; kekerasan, kecurangan dan penipuan dalam bisnis, pembantaian etnis, konflik suku dan agama yang semuanya seperti membawa dunia ini kembali ke jaman prasejarah. Semua tindakan teror dan kejahatan di atas justru terjadi di belahan dunia yang dianggap paling maju dan beradab. Ternyata penemuan-penemuan teknologi dan ketrampilan baru yang dihasilkan manusia tidak memiliki jawaban untuk sisi gelap kehidupan pada saat ini. Yang menjadi tugas gereja pada saat ini adalah memiliki visi profetis. Orang percaya membutuhkan sebuah mata untuk melihat apa yang sedang terjadi di dunia ini, sebuah mata yang tidak terbuai dan tertipu oleh penampakan-penampakan luar tetapi yang melihat apa yang sesungguhnya sedang terjadi, sebuah mata yang mengenali tanda-tanda jaman dan tidak tertipu oleh nabi-nabi palsu yang meneriakkan “damai!” pada saat sesungguhnya tidak ada damai dan yang memberikan target-target dan standar-standar yang palsu. Orang percaya perlu melihat segala sesuatu dari cara pandang Allah dan kemudian memberi peringatan kepada masyarakat tentang penghakiman-Nya.
Kedua, simbol milenium menyadarkan orang percaya bahwa masa depan ada di dalam pengendalian Allah. Kitab Wahyu menggambarkan konflik kosmik. Kitab ini memberitahukan kepada orang percaya bahwa wawasan sejati akan apa yang terjadi di dunia ini adalah melihat bahwa sesungguhnya sedang terjadi konflik antara Allah dan kebaikan di satu sisi dan kuasa jahat di sisi lain. Kuasa jahat mengancam untuk mengalahkan dan menguasai kebaikan dan orang-orang yang memegang teguh kebenaran tetapi, pada akhirnya, kemenangan ada di tangan Allah. Pusat dari milenium adalah kedatangan Yesus Kristus untuk memerintah atas dunia ini. Ada janji bahwa suatu hari Raja di atas segala raja, Raja yang membawa damai dan kasih, akan menang atas kejahatan dan mendirikan kerajaan Allah. Dia telah mendemonstrasikan kasih Allah yang besar bagi dunia yang telah jatuh ini dan telah mengalahkan dosa, kematian dan Iblis dengan kematian dan kebangkitan-Nya. Pesan milenium adalah apa yang telah Allah mulai akan Ia selesaikan. Kristus akan bertahta. Setan akan dikalahkan sepenuhnya. Kuasa jahat akan dikalahkan oleh kuasa Allah. Masa depan ada di tangan Allah. Sebab itu, di dalam Allah kita meletakkan persandaran kita akan masa depan dan bukan kepada diri sendiri atau dunia yang sekarang. Namun demikian, orang percaya juga tidak boleh menjadi hanya terfokus pada masa depan dan mengabaikan bumi yang lama ini. Karena kemenangan itu berlangsung di bumi maka bumi yang lama ini bukannya dihancurkan dan digantikan yang baru melainkan akan ditransformasi menjadi bumi yang baru. Dengan wawasan pengharapan yang demikian, orang-orang Kristen harus giat di dunia ini, menyingkirkan segala yang jahat dan mengusahakan transformasi masyarakat. Milenium dan bumi yang baru bukan hanya pengharapan untuk masa depan melainkan juga agenda atau “pekerjaan rumah” yang harus dikerjakan gereja.
Ketiga, umat Allah akan menjadi imamat yang rajani. Mereka akan hidup dan bertahta bersama Kristus dan mereka akan memiliki hubungan langsung kepada Allah. Allah menyelamatkan dan membela umat-Nya yang setia. Kesedihan dan keluh kesah akan disingkirkan. Tetapi kemenangan itu bukan hanya atas kefasikan dan bencana di dalam dunia ini saja. Di dalam hati setiap kita juga ada kefasikan. Milenium menjadi simbol akan dunia baru yang di dalamnya orang-orang memiliki kemenangan pribadi di dalam hidup mereka sendiri. Mereka akan mengalahkan pencobaan. Tidak hanya itu, kita juga akan memiliki kedekatan dengan Allah. Imam adalah orang yang melayani Allah dan memiliki hubungan khusus dengan Allah yang tidak dimiliki oleh orang lain. Di dalam dunia kuno, orang-orang biasa tidak bisa mendekati dewa-dewa mereka seperti halnya seorang imam. Tetapi di dalam PB, setiap orang percaya memiliki hak istimewa sebagai imam, bukan hanya rohaniwan saja. Allah berjanji bahwa semua umat-Nya akan berbagian di dalam kemenangan-Nya dan akan menikmati relasi yang intim dengan-Nya.
Keempat, semua pengharapan dan kemenangan ini hanya bagi orang-orang percaya yang setia. Karena milenium berarti berakhirnya kefasikan serta bertahtanya Kristus, maka mereka yang berbagian di dalamnya adalah orang-orang yang telah berbalik dari kefasikan dan menerima Kristus sebagai Tuhan mereka. Yohanes melambangkan orang-orang ini sebagai para martir yang telah dipenggal kepalanya karena kesaksian hidup mereka. Milenium diperuntukkan bagi orang-orang percaya yang setia kepada Tuhan. Orang-orang yang fasik yang tidak percaya dan tidak setia berada di luar dan tidak dapat berbagian di dalam dunia baru yang Allah ciptakan (bdk. Why. 22:15).
Dan terakhir, kelima, gereja pada saat ini harus hidup dalam antusiasme penantian seperti yang ada pada gereja abad pertama. Orang-orang percaya saat itu meyakini bahwa akhir jaman dan kedatangan Kristus yang kedua akan terjadi di dalam generasi mereka atau ketika mereka masih hidup. Mereka berpikir bahwa peristiwa itu akan segera terjadi, sebab itu mereka menantikannya dengan penuh antusias. Namun, dua ribu tahun kemudian, orang-orang percaya pada saat ini merasa sulit untuk bisa hidup dengan antusiasme penantian seperti itu sebab sudah sedemikian lama waktu yang terlewat tetapi tidak ada indikasi bahwa titik akhir itu akan tiba. Namun demikian, janji itu masih tetap berlaku dan dapat dipercaya. Milenium adalah sebuah panggilan kepada setiap diri kita untuk mengenali bahwa tidak akan ada masa depan di luar Allah, dan bahwa kita sekarang harus hidup sebagaimana jemaat mula-mula hidup dalam penantian yang antusias akan kedatangan Kristus. Sementara menantikan kedatangan-Nya, Kristus berkata kepada kita, “Sibukkanlah dirimu dengan pekerjaan-Ku sampai Aku datang kembali” (parafrase dari Luk. 19:13). Orang-orang percaya pada saat ini sudah hidup di dalam penantian akan kerajaan Allah dan Kristus. Kuasa dari dunia yang akan datang telah tiba dan hanya dengan mengusahakan kuasa itulah, dunia yang sekarang ini bisa diubah dan dipersiapkan untuk berjumpa dengan Tuhan. Milenium berarti kita dipanggil bukan untuk duduk-duduk diam dan menunggu melainkan untuk bangkit dan melayani. Kristus berkata, “Ya, Aku datang segera!” Amin, datanglah, Tuhan Yesus!


DAFTAR PUSTAKA

Achtemeier, Paul, Joel B. Green dan M. M. Thompson. Introducing New Testament: Its Literature and Theology. Grand Rapids: Eerdmans, 2001.

Aune, David E. “Apocalypticism” dalam Dictionary of New Testament Background. Downers Grove: InterVarsity, 2000.

Beale, G. K. New International Greek Testament Commentary: Revelation. Grand Rapids: Eerdmans, 1999.

Ferguson, Everett. Background of Early Christianity. Grand Rapids: Eerdmans, 2003.

Hill, Charles E. Regnum Caelorum: Patterns of Millennial Thought in Early Christianity. Grand Rapids: Eerdmans, 2001.

Hoehner, Harold W. “Evidence from Revelation 20,” A Case for Premillennialism: A New Consensus. Chicago: Moody, 1992.

Hoekema, Anthony A. Alkitab dan Akhir Zaman. Malang: Momentum, 2004.

Marshall, I. Howard. “The Christian Millennium” dalam Evangelical Quarterly 72/3, 2000.

Mathewson, Dave. “A Reexamination of the Millennium in Revelation 20:1-6: Consummation and Recapitulation” dalam Journal of Evangelical Theological Society 44/2, 2001.

Osborne, Grant. Baker Exegetical Commentary of New Testament: Revelation. Grand Rapids: Baker, 2002

________. The Hermeneutical Spiral. Downers Grove: InterVarsity, 1991.

Witherington III, Ben. New Cambridge Bible Commentary: Revelation. Cambridge: Cambridge University Press, 2003.


David
November 2005
TELADAN DARI SEORANG ANAK GUNDIK

Seorang kakek tua sedang duduk di sebuah kursi kecil tanpa sandaran di teras sempit rumahnya yang tidak mirip teras sama sekali karena tidak nyaman dan begitu banyak barang bekas. Tubuhnya jangkung, besar dan sedikit bungkuk, menunjukkan sisa-sisa kekekaran tubuhnya waktu muda. Rambut di kepalanya tipis dan hampir seluruhnya berwarna putih keperakan. Wajahnya penuh keriput. Ia mengenakan kaus oblong dan celana piyama. Namun bukan semua hal di atas yang membuat saya kagum pada kakek ini. Yang membuat saya tertarik dengan kakek ini di pagi itu adalah buku kecil tebal yang ada di pangkuannya, kaca pembesar yang ada di sampingnya, kaca mata baca yang ia kenakan dan terlebih lagi ketekunannya memperhatikan dan mengikuti kata demi kata dalam buku yang dibacanya. Ketika saya perhatikan buku itu, lembaran halamannya sudah kekuningan, kertasnya sudah lapuk, tulisannya agak memudar. Di lembaran-lembaran halaman buku itu tertulis aksara-aksara rumit bahasa mandarin yang kecil-kecil, mungkin detilnya sudah ada yang hilang. Dengan tekun kakek itu menelusuri aksara-aksara itu dari atas ke bawah, dari kanan ke kiri. Jikalau ada aksara yang sulit dibaca, kakek itu akan menundukkan kepalanya lebih dekat lagi ke buku dan mengamati dengan lebih cermat aksara apakah itu. Jikalau masih tidak terbaca, ia akan menggunakan kaca pembesar yang ada di sampingnya. Saya membayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan kakek itu untuk membaca buku tebal itu sampai habis jikalau ia harus menghadapi kesulitan-kesulitan seperti itu. Jikalau setiap pagi saya ke sana, hampir selalu saya menjumpai kakek itu sudah ada di tempatnya seperti biasa dengan buku kecil itu di pangkuannya. "Wow…tekun sekali kakek ini!", kata saya dalam hati. Mungkin ia akan terus membaca buku itu setiap pagi sampai selesai walaupun mungkin 1 tahun baru selesai! Mungkin juga ia sudah berulang-ulang membaca buku itu sampai selesai! Saya benar-benar kagum dengan kakek ini! Mungkin usianya sudah 4 kali lipat usia saya, namun usia dan ketuaannya sama sekali tidak menghambat ketekunannya membaca buku. Suatu kali saya bertanya kepadanya, "Apakah setiap pagi Apak selalu membaca buku?" Ia menjawab, "Ya betul, saya dulu waktu muda pernah sekolah bahasa mandarin di Tiongkok…" Lalu mulailah ia menceritakan perantauannya dari Tiongkok, ke Thailand lalu tiba di Aceh dan terakhir ikut anaknya ke Jakarta. Kakek ini sudah begitu banyak makan asam garam kehidupan! Saya bersyukur dalam hidup saya pernah mengenal kakek ini. Saya, yang sekalipun menyukai membaca buku, belum ada apa-apanya dibandingkan ketekunan beliau membaca buku! Saya belajar banyak dari ketekunannya membaca buku. Mungkin yang dirasakan kakek itu sama dengan yang dirasakan Sara P. Parton (1811-1872), nama asli dari Fanny Fern, penulis buku kanak-kanak terkenal yang berkisah :
“Oh buku-buku adalah sahabat yang aman. Mereka menyimpan rahasia anda, mereka tak pernah berbangga bahwa telah membuat mata anda berkaca-kaca, atau membuat pipi anda kemerahan, atau jantung anda berdebar-debar. Anda dapat saja mengambil pengarang kegemaran anda dan mencintainya dari kejauhan sehangat mungkin sesuka anda karena telah membuai anda dengan berbagai khayalan yang manis selama berjam-jam ketika anda merasa kesepian. Kemudian anda menutup buku itu dan menempelkan pipi anda pada kulit buku itu seolah-olah wajah seorang sahabat karib; mata anda tertutup, berbicara sendiri sepuasnya, tanpa khawatir membuat kesalahan, meskipun seyogianya anda berseru karena penuhnya gairah anda: 'Alangkah terpujinya orang itu.' Anda mungkin menyimpan buku anda di bawah bantal, dan membiarkan mata anda tak akan membiarkan orang lain menyita kesenangan yang demikian sedapnya. Mungkin saja anda dihujani beribu gagasan dan kesalahan, namun anda akan selalu kembali kepada yang selalu dekat, yang tidak akan mengganggu anda dengan berbagai kesucian, atau menyakiti anda dengan berbagai kealpaan ataupun melukai anda dengan kecurigaan.”
Mendapat pengalaman dari sang kakek membuat saya sendiri berpikir mengenai diri saya sendiri. Saya mulai senang dan menyukai membaca buku-buku kurang lebih sejak 3 SMP. Saat itu PRMI (Persekutuan Remaja Methodist Indonesia) baru membuka satu perpustakaan kecil, buku-bukunya juga tidak sebanyak sekarang. Kami, anak-anak tunas remaja yang baru naik ke PRMI, senang mengunjungi perpustakaan itu. Sesudah kebaktian I selesai, kami biasanya langsung mengerumuni buku-buku yang dipajang, dengan antusias membolak-balik halamannya dan membacanya. Saya, ketika itu, biasanya tertarik dengan kisah-kisah kesaksian seperti seri kesaksian, Sonya dan pasukan penjaga keamanan, biografi John Sung dan lainnya yang tidak saya ingat. Seiring dengan berkembangnya perpustakaan PRMI, buku-buku bermutu mulai ditambah. Dan saya juga belajar membaca buku-buku yang bobotnya lebih sulit, seperti doktrin atau yang sifatnya khotbah/renungan. Jikalau melihat kembali ke masa itu, sekarang saya menyadari bahwa kecintaan saya membaca buku itu disebabkan oleh perpustakaan PRMI. Sebab itu, saya berterima kasih kepada PRMI, khususnya perpustakaan PRMI, dan para pembina, pengurus, kakak senior serta para petugas perpustakaan PRMI yang telah dengan begitu ramahnya melayani kami para peminjam buku, dan terlebih lagi menanamkan minat membaca buku kepada saya. Henry Ward Beecher, seorang penginjil berkebangsaan Amerika yang hidup sekitar tahun 1813-1887 pernah mengatakan:
“Buku merupakan jendela untuk batin kita melihat-lihat keluar. Suatu rumah tanpa buku layaknya seperti sebuah kamar tanpa jendela. Tak seorang pun berhak membesarkan anak-anaknya tanpa mengerumuninya dengan buku, kalau ia mampu menyediakannya. Hal itu merupakan kesalahan bagi keluarganya. Ia menipu mereka! Anak-anak belajar membaca dengan adanya buku-buku. Cinta akan ilmu pengetahuan timbul dengan adanya bacaan dan berkembang karenanya. Dan cinta akan ilmu pengetahuan pada usia muda merupakan jaminan penangkal nafsu-nafsu rendah dan berbagai keburukan. Marilah kita mengasihi orang-orang kaya yang malang yang hidup gersang tanpa buku di rumah-rumah yang besar! Mari kita menyelamatkan mereka yang miskin, bahwa di masa-masa ini, buku-buku begitu murah hingga orang dapat saja menambah koleksi perpustakaannya seribu jilid dalam setahun sebesar biaya yang biasa ia keluarkan untuk tembakau dan minuman birnya. Hasrat yang pertama-tama terdapat pada para karyawan, buruh, penjelajah dan tentu saja pada semua orang yang ingin maju dalam hidup dan menjadi seseorang adalah keinginan untuk selalu menambah koleksi perpustakaannya. Sebuah perpustakaan kecil yang tumbuh dan berkembang setiap tahun, merupakan bagian yang sangat terpuji dalam sejarah kehidupan seseorang. Mempunyai buku merupakan salah satu tugas umat manusia. Perpustakaan bukanlah suatu kemewahan, tetapi suatu kebutuhan dalam hidup.”
Hal kedua yang, menurut saya, menanamkan kecintaan membaca buku pada diri saya adalah kelas Pemahaman Alkitab. Di dalam kelas PA saya tidak hanya diajar dan belajar Firman Tuhan. Tetapi kami juga ditanamkan kecintaan membaca buku-buku yang bermanfaat untuk pertumbuhan rohani. Guru PA kami dan asistennya terus menerus mendorong kami untuk membaca buku. Hasilnya…bagi kami sekarang, mungkin membaca buku sudah seperti membudaya dalam hidup kami! Kami sudah merasakan dan menikmati berkat-berkat Tuhan melalui buku di tengah-tengah perjalanan dan pergumulan rohani kami. Seorang teman yang dulu juga pernah satu kelas PA dengan saya menceritakan bagaimana selain Alkitab, buku-buku rohani telah membantunya menjawab pertanyaan-pertanyaannya yang selama ini belum ia temukan jawabannya dan menghapuskan keragu-raguan rohaninya selama ini. Tuhan telah meneguhkannya kembali akan imannya kepada Dia melalui sebuah buku. Buku itu begitu menjadi berkat buat dia dan sekarang berkat itu dia sharingkan kepada orang lain supaya mereka juga boleh merasakannya. Itu semua terjadi berkat kerja keras dan kegigihan para guru PA yang "menanamkan bibit" minat membaca buku itu di dalam hati kami. Kami sungguh berterima kasih kepada mereka!
Jikalau demikian, mungkin di antara teman-teman ada yang bertanya : "Bagaimana kita tahu kalau buku yang kita baca itu mengajarkan yang benar. Kan..sekarang banyak buku yang isinya ngga bener. Nanti buku itu malah bukan menjadi berkat sebaliknya menjatuhkan kerohanian kita, dan bahkan menyesatkan kita." Memang sekarang banyak pengarang buku non-Kristen yang mencomot ajaran Yesus dari Alkitab untuk mendukung pendapatnya sendiri. Banyak buku yang mengajarkan doktrin Kekristenan yang tidak sehat. Banyak buku-buku yang kelihatannya seperti buku Kristen tapi nyatanya isinya mengajarkan agama baru dari gerakan jaman baru yang mengutip ajaran Yesus. Sebab itu kita perlu berhati-hati dalam memilih buku yang akan kita baca, karena---seperti yang dikatakan Paxton Hood---kebiasaan dan karakter kita, selain dipengaruhi oleh pergaulan, juga dipengaruhi oleh buku-buku yang kita baca. Syukur kepada Tuhan karena FirmanNya dapat menjadi satu patokan dan standar untuk menilai segala ajaran, ilmu pengetahuan, dan ide-ide dari dunia ini. Kita bisa merasa tenang dan tidak kuatir lagi karena kita punya "alat ukur" yang tidak perlu dikalibrasi dan tidak akan pernah menjadi salah. Kalau kita belajar sungguh-sungguh dari Firman Tuhan, kita tidak perlu takut lagi membaca banyak buku-buku (sekalipun mungkin itu sesat) karena dengan pertolongan Roh Kudus kita bisa menilainya menurut kebenaran Firman Tuhan. Ini bukan berarti saya mengajarkan kita semua untuk membaca buku-buku yang ajarannya salah. Maksud saya, yang benar hanyalah Firman Tuhan, yang lainnya harus dinilai berdasarkan kebenaran Firman Tuhan. Dalam prakteknya, kita bisa melakukan beberapa cara untuk menilai apakah suatu buku itu mengajarkan yang benar atau tidak. Kita bisa mengecek latar belakang si penulis buku: latar belakang kerohaniannya dan pendidikannya. Memang ini tidak bisa sepenuhnya menjamin buku itu sudah aman untuk dibaca. Cara lainnya, kita bisa bertanya kepada hamba Tuhan, pembina, penginjil atau orang Kristen yang sudah dewasa kerohaniannya. Mereka akan dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan yang bermanfaat bagi kita.
Kalau saya ditanya mengapa saya senang membaca buku, maka saya akan jawab bahwa di dalam setiap lembar buku itu saya menemukan harta berharga yang tidak saya duga sebelumnya. Saya tertarik untuk membeli atau membaca sebuah buku jika resensi yang saya baca di belakang buku itu menunjukkan bahwa buku itu memang isinya bagus atau penulisnya sudah terkenal hebat. Suatu kali saya pernah memiliki keinginan untuk membeli sebuah buku yang sudah lama saya idam-idamkan. Covernya, resensinya dan penulis-penulisnya begitu membuat saya terpesona dan betul-betul ingin memiliki buku tersebut. Lalu suatu hari saya sediakan waktu untuk pergi ke toko buku dan membeli buku tersebut. Setibanya di rumah dengan tidak sabar lagi saya buka bungkusnya dan langsung saya lihat isinya. Begitu melihat daftar isinya dan menjelajahi tulisan-tulisan yang begitu bermutu dari penulis-penulis hebat, ternyata isi buku itu lebih bagus dan lebih indah lagi dari yang saya duga sebelumnya! Hati saya melambung penuh sukacita karena bisa memiliki buku yang begitu berharga ini. Saat itu juga hati saya penuh ucapan syukur kepada Tuhan karena saya telah menemukan harta yang begitu berharga! Bagi saya itulah sukacita dari membaca buku, yaitu menemukan hal-hal berharga yang tidak saya duga sebelumnya! Itulah juga yang sebelumnya telah dikatakan oleh Walt Disney, "Ada lebih banyak harta berharga di dalam buku-buku daripada yang ada di dalam barang rampasan bajak laut di Pulau Harta Karun." Namun demikian, membaca buku bukanlah hanya keinginan sesaat, tetapi itu harus menjadi kerinduan dan kebutuhan seumur hidup. Karena semakin banyak membaca kita akan menyadari semakin sedikit yang kita ketahui. Robbes, filsuf Inggris pernah berkata, “Jika saya membaca buku-buku sebanyak yang dibaca orang lain, saya akan mengetahui sama sedikitnya seperti mereka.” Oleh sebab itu, mari…sering-seringlah mengunjungi perpustakan gereja, carilah dan pinjamlah buku-buku yang teman-teman senangi, bawalah pulang dan bacalah dengan penuh kegairahan dan semangat untuk menggali harta karun di balik setiap halamannya.
Saya juga senang membaca buku-buku rohani karena buku-buku itu membantu pertumbuhan rohani. Perhatikan, saya mengatakan buku hanya membantu pertumbuhan rohani, bukan yang menumbuhkan kerohanian karena hanya Firman Tuhan dan Roh Kudus sajalah yang dapat menumbuhkan dan membangun kerohanian kita. Inilah hal berikutnya yang ingin saya tekankan. Membaca buku-buku rohani yang benar bukan berarti kita boleh melupakan Firman Tuhan [Alkitab]. Mungkin ada yang berpendapat: "Di dalam buku-buku rohani, pengarangnya kan juga banyak mengutip dari Alkitab. Selain itu membaca buku rohani lebih membawa berkat dibandingkan membaca Alkitab yang isinya kadang membosankan dan gitu-gitu aja. Lebih enak baca buku rohani deh daripada baca Alkitab." Tetapi ingat apa yang saya katakan sebelumnya, Firman Tuhan bagaimanapun juga adalah KEBENARAN (Yoh 17:17). Jikalau tidak ada Firman Tuhan maka tidak akan ada buku-buku rohani. Dari manakah para penulis buku rohani mendapatkan sumber dan inspirasi? Apakah titik sentral dari semua tulisan mereka? Tidak lain dan tidak bukan adalah Firman Tuhan dan Yesus Kristus. Jadi Firman Tuhan tetap yang terpenting dan utama di atas segala buku rohani yang paling bermanfaat dan bermutu sekalipun. Bagi Sir Arthur Keith, Alkitab tetap adalah buku di atas segala buku, tetap yang terhebat!
Alkitab perlu dibaca setiap hari dalam Saat Teduh kita bersama Tuhan. Sebenarnya apa yang menjadikan Alkitab dan Saat Teduh setiap hari adalah hal yang krusial (perlu dan penting) di dalam hidup anak-anak Tuhan? Pertama, saya akan menjawab pertanyaan itu melalui pesan Dr. Andar Ismail di dalam buku Selamat Berbakti :
"Alkitab adalah ibarat makanan karena di dalamnya terdiri dari berbagai jenis kitab [ada kitab Taurat, sejarah, puisi, nyanyian, surat-surat dan lainnya] seperti halnya makanan perlu bervariasi supaya lengkap dan seimbang dalam kalori, karbohidrat, protein, lemak, mineral dan lainnya. Lebih dalam lagi : mengapa Tuhan Yesus mengibaratkan Firman Allah seperti makanan. Makanan adalah kebutuhan sehari-hari. Kita perlu makan tiap hari, walaupun mungkin hanya satu piring. Kita bukan makan 30 piring sekaligus sebulan sekali, melainkan tiap hari satu piring. Begitulah caranya tubuh kita terpenuhi kebutuhannya supaya sehat dan bertumbuh. Mungkin itulah maksudnya Tuhan Yesus, yaitu agar Firman Tuhan masuk ke dalam diri kita bukan sekaligus dalam porsi besar sebulan sekali melainkan sedikit demi sedikit secara teratur setiap hari. Barangkali juga maksudNya adalah agar kita membaca Alkitab dan buku renungan seperti kita menikmati lezatnya makanan."
Kedua, saya pernah membaca satu artikel fiksi yang menggambarkan iblis sedang mengadakan rapat dengan para malaikatnya. Dalam kata-kata pembukaannya, iblis berkata, "Kita tidak bisa menghalangi orang Kristen untuk pergi ke gereja. Kita tidak bisa mencegah mereka membaca Alkitab dan mengenal kebenaran. Kita tidak bisa menghalangi mereka membangun suatu persekutuan yang akrab di dalam Kristus . TETAPI, jika mereka menjalin hubungan dengan Kristus, kuasa kita terhadap mereka akan hancur. Jadi biarkan mereka pergi ke gereja, biarkan mereka memiliki gaya hidup konservatif; TETAPI, curilah waktu mereka sehingga mereka tidak dapat menjalin hubungan dengan Yesus Kristus. Inilah yang saya ingin kamu semua lakukan. Ganggu mereka ketika sedang menjalin hubungan dengan Juruselamat mereka dan alihkan pikiran mereka daripada mempertahankan hubungan vital itu setiap hari! Buat mereka SIBUK!" Mengapa iblis begitu gencar ingin mengganggu hubungan kita dengan Tuhan? Karena…ia SADAR bahwa itulah SUMBER KEKUATAN setiap anak Tuhan. Tidakkah kita juga menyadari hal itu? Saat Teduh adalah saat di mana kita menjalin hubungan dengan Tuhan, pencipta kita. Bapa di surga adalah seperti seorang ayah yang sangat rindu menantikan anak-anakNya untuk datang menjumpaiNya. Hidup sebagai orang Kristen bukanlah hanya sekedar pergi ke gereja, menjalankan peraturan-peraturan agama, menjalankan 10 perintah Allah dan menjadi orang Kristen yang saleh, melainkan LEBIH dari itu…Hidup sebagai seorang Kristen adalah hidup yang memiliki HUBUNGAN PRIBADI dengan Tuhan. Menjalin hubungan pribadi dengan orang lain itu tidak mudah dan butuh waktu. Apalagi dengan Tuhan. Dr. Calvin Miller mengatakan,
"Halangan untuk menjalin hubungan intim dengan Juruselamat kita adalah ketergesa-gesaan. Keakraban tidak boleh terburu-buru. Kedekatan batin menghabiskan waktu, hanya terbuka bagi pikiran yang rindu mencicipi kerohanian dalam gigitan-gigitan kecil, menikmatinya satu per satu. Keakraban dengan Kristus muncul ketika kita memasuki hadiratNya dengan kedamaian hati bukan dengan tiba-tiba menerobos masuk hadiratNya setelah sebelumnya kita menghadapi konflik-konflik hidup. Dengan relaks merenungkan Kristus yang tinggal di hati kita memungkinkan terjadinya hubungan batin yang erat yang mustahil dapat dicapai ketika kita berada di bawah tekanan kesibukan. Hidup yang suci bukanlah hidup yang tiba-tiba dan mendadak. Tidak seorang pun yang terburu-buru memasuki hadirat Tuhan dapat merasa puas untuk berlama-lama tinggal di dalamnya. Mereka yang tergesa-gesa masuk, juga tergesa-gesa keluar."
Menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan membutuhkan waktu, dan juga kesetiaan serta kesabaran untuk memupuk hubungan itu menjadi semakin erat hari lepas hari. Sebab itu jangan kita tertipu oleh siasat iblis yang ingin membuat kita terlalu sibuk (B U S Y - Being Under Satan's Yoke : Berada di bawah kuk iblis) sehingga kita tidak menyediakan waktu, lupa dan malas bersaat teduh setiap hari!
Seorang Kristen yang sudah menjalankan kedua kebiasaan di atas (membaca buku dan bersaat teduh) secara sungguh-sungguh adalah Toyohiko Kagawa (1888–1960). Kagawa hanyalah anak gundik seorang politikus ternama di Jepang. Namun setelah dewasa, Kagawa menjadi seorang penginjil besar yang membaktikan seluruh hidupnya membela orang yang miskin dan tertindas. Sejak masih di sekolah menengah, Kagawa sudah hafal seluruh khotbah Yesus di bukit ([Mat 5-7). Ia sangat terpukau oleh diri dan ajaran Yesus. Dalam doanya, ia berkata, "Jadikan aku seperti Kristus". Ketika di perguruan tinggi, dalam 2 tahun ia membaca semua buku yang ada di perpustakaan. Sejak usia 21 tahun ia memutuskan untuk melayani orang-orang miskin di kawasan kumuh Shinkawa. Ia memiliki harta benda yang paling berharga di antara benda-benda lain dalam gubuknya. Harta benda Kagawa yang paling berharga di gubuk ini adalah rak buku yang terbuat dari kayu kasar bekas peti kaleng minyak. Di rak ini terdapat buku-buku teologi, sastra, ekonomi dan psikologi karya penulis kelas wahid. Pagi-pagi sekali Kagawa sudah membaca dan bersaat teduh. Ia menulis, "Doa dini hari, ditemani bintang pagi, membawa berkat yang paling agung bagi jiwa. Yesus juga senang pada saat-saat sebelum fajar. Semoga aku tetap jadi putra fajar." Malam hari Kagawa membaca lagi. Ia berkata, "Tidak ada kesenangan yang dapat dibandingkan dengan yang ini: saat kita sendirian, hanya ditemani oleh cahaya yang tenang, menikmati sebuah buku sampai jauh malam…dalam kesunyian bercakap-cakap dengan pengarang kesayangan."
Ada begitu banyak alasan mengapa kita perlu, kudu, musti, harus membaca buku dan terlebih lagi membaca Alkitab dalam waktu teduh kita. Namun tidak ada satu alasan pun yang dapat membuat kita merasa tidak butuh membaca buku (dan Alkitab) atau menjadikan kita malas dan lupa bersaat teduh. Toyohiko Kagawa sudah menjalankan kedua kebiasaan itu secara bersama-sama dalam hari-hari hidupnya sejak ia masih muda. Kedua kebiasaan itu sudah menjadi pola hidup Kagawa. Apakah kita juga sudah menjadikan kedua kebiasaan ini bagian dari hidup kita juga? Jikalau belum, mari kita sama-sama memulainya hari ini.

“Sementara itu sampai aku datang bertekunlah dalam membaca kitab-kitab suci…”
(I Timotius 4:13)

"Segala tulisan yangdiilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran"
(II Timotius 3:16)



David

Masalah Penderitaan

JIKA ALLAH MAHAKUASA DAN MAHABAIK,
MENGAPA ORANG PERCAYA MENDERITA?

PENDAHULUAN
Masalah penderitaan dan kejahatan (problem of suffering, problem of evil) akan selalu menjadi pertanyaan dan kebingungan bagi orang percaya di sepanjang sejarah. Untuk menyingkatkan penggunaan kata, arti “penderitaan” di sini juga mencakup kejahatan. Jadi penderitaan adalah hal-hal buruk yang menimpa kehidupan seseorang, termasuk bencana alam, sakit penyakit, kematian, dan kejahatan.

MASALAH PENDERITAAN
Masalah penderitaan dapat dirumuskan dengan satu kalimat berikut: “Jika Allah itu ada, mahatahu, mahakuasa dan mahabaik, mengapa di dunia ini ada penderitaan?”
Premis-premis : Allah itu ada, mahatahu, mahakuasa, mahabaik
Kesimpulan : Di dunia ini tidak ada penderitaan.
Jika Allah itu ada, mahatahu, mahakuasa dan mahabaik maka seharusnya di dunia ini tidak ada penderitaan, karena
• Jika Allah mahatahu maka Ia sangat tahu bahwa penderitaan menyengsarakan/menghancurkan kehidupan manusia.
• Jika Allah mahakuasa maka Ia sangat sanggup/mampu untuk menyingkirkan penderitaan.
• Jika Allah mahabaik maka Ia sangat ingin/mau untuk menyingkirkan semua penderitaan di dunia ini sehingga manusia dapat hidup nyaman dan bebas dari penderitaan.
Kesimpulannya, di dunia ini tidak akan ada penderitaan.

Tetapi faktanya, di dunia ini ada penderitaan. Maka secara logika ada tiga kemungkinan pemahaman tentang Allah
1. Allah tidak mahakuasa. Jika ada penderitaan maka Allah tidak mahakuasa. Ia memang mahabaik dan menghendaki terjadinya kebaikan di dunia ini, tetapi Ia tidak sanggup untuk mewujudkan keinginan-Nya itu karena Ia tidak mahakuasa.
2. Allah tidak mahabaik. Jika ada penderitaan maka Allah tidak mahabaik. Ia sanggup untuk mewujudkan kebaikan di dunia ini tetapi Ia tidak mau sebab Ia memang adalah Allah yang jahat!
3. Allah tidak ada. Jika Allah itu adalah pribadi yang mahatahu, mahakuasa dan mahabaik, namun demikian penderitaan itu tetap ada maka berarti Allah yang seperti itu tidak ada.

JAWABAN ALKITAB TERHADAP MASALAH PENDERITAAN
Penyebab Penderitaan
Penderitaan bukanlah rencana semula Allah bagi ciptaan-Nya melainkan disebabkan oleh kehendak bebas manusia yang memilih untuk melanggar ketetapan Allah. Penderitaan adalah akibat dari hukuman universal Allah atas dosa manusia.
1. Kita menderita karena hidup di bumi yang telah dikutuk. Karena pemberontakan manusia pertama (Adam) kepada Allah maka bumi ini pun telah dikutuk (Kej. 3:17-19a), artinya bumi tidak lagi menjadi habitat yang bersahabat dan mendukung kehidupan manusia melainkan telah menjadi musuh dan menyusahkan kehidupan manusia.
2. Kita menderita karena hukuman Allah yang universal atas dosa umat manusia, yaitu penuaan tubuh jasmani dan kematian secara jasmani (Kej. 3:19b).
3. Kita menderita karena perbuatan manusia berdosa lainnya. Karena kejatuhan manusia pertama maka dosa telah menguasai seluruh umat manusia di muka bumi ini dan di segala zaman (Kej. 6:5, 11-12), yang pikiran, perasaan dan perilakunya telah dikuasai dosa (Rm. 1:21; Ef. 4:17-19).
4. Kita menderita sebagai akibat dosa dan kebodohan kita sendiri (Gal. 6:7-9). Contohnya, bila kita memiliki kebiasaan buruk merokok maka jika kita menderita kanker paru-paru, itu adalah akibat dari perbuatan kita sendiri.
Catatan: secara universal memang penderitaan adalah hukuman atas dosa manusia, tetapi secara pribadi lepas pribadi, penderitaan orang percaya tidaklah selalu disebabkan oleh dosanya sendiri (mis. penderitaan Ayub).

Allah Tetap Mahakuasa
Meskipun Allah bukanlah penyebab penderitaan, namun penderitaan bukanlah di luar kedaulatan Allah tetapi tetap ada di dalam kendali/kontrol Allah atas ciptaan (Ef. 1:11, “. . . Allah, . . . di dalam segala sesuatu [termasuk penderitaan] bekerja menurut keputusan kehendak-Nya”; Rm. 8:28, “. . . Allah turut bekerja dalam segala sesuatu [termasuk penderitaan] . . . ”). Penderitaan tidaklah mengurangi kedaulatan dan kemahakuasaan Allah. Alam semesta, jalannya sejarah, orang-orang berdosa, bahkan Iblis dan antek-anteknya sekalipun tetap ada di dalam kontrol Allah. Kejatuhan manusia ke dalam dosa maupun penderitaan yang diakibatkannya tidaklah menggagalkan rencana kekal Allah bagi orang percaya.
Allah yang mahakuasa memang sanggup untuk menyingkirkan penderitaan sehingga di dunia ini orang percaya dapat hidup bebas dari penderitaan. Tetapi, di dalam kemahakuasaan-Nya yang tidak selalu bisa kita mengerti, Allah memilih untuk mengizinkan dan memakai penderitaan untuk menggenapkan rencana kekal-Nya. Jadi, jika orang percaya saat ini mengalami penderitaan, maka penderitaan itu ada di dalam kendali dan pengaturan Allah (bdk. 1Tes. 3:3b; 1Ptr. 4:19) untuk menggenapkan rencana/tujuan-Nya bagi orang percaya (Yer. 29:11; Rm. 8:28).
Jadi, Allah tetap mahakuasa karena (1) penderitaan tetap ada di dalam kontrol Allah, (2) penderitaan tidak menggagalkan rencana kekal-Nya dan (3) Ia memakai penderitaan untuk menggenapkan tujuan/rencana-Nya bagi orang percaya.

Allah Tetap Mahatahu dan Mahabaik
Adanya penderitaan di dalam kehidupan orang percaya bukanlah alasan untuk menyalahkan atau meragukan kemahatahuan dan kemahabaikan Allah. Di dalam kemahatahuan-Nya, Allah sangat tahu apa yang terbaik bagi orang percaya. Di dalam kemahatahuan/kemahabijakan-Nya itu, Allah tahu bahwa dalam jangka panjang penderitaan akan membawa kebaikan yang lebih besar bagi anak-anak-Nya atau mengakibatkan efektifitas yang lebih besar bagi tergenapinya rencana-Nya yang baik dibandingkan dengan tanpa penderitaan.
Pengertian “baik” menurut Allah tidak sama dengan pengertian kita sebagai manusia (bdk. Yes. 55:8-9). “Baik” menurut kita adalah kenyamanan dan kesenangan kita. Sedangkan “baik” menurut Allah adalah pembentukan kita menjadi pribadi-pribadi yang memiliki karakter dan keserupaan dengan Kristus. Rencana/tujuan Allah bagi hidup kita di dunia saat ini bukanlah membuat kita nyaman dan bebas dari penderitaan melainkan mendidik dan melatih kita untuk menjadi pribadi yang dewasa/matang di hadapan-Nya.
Jadi, Allah tetap mahatahu dan mahabaik karena Ia tahu apa yang terbaik bagi orang percaya. Allah tahu bahwa penderitaan justru akan membawa kebaikan yang jauh lebih besar bagi orang-orang percaya, yaitu melatih mereka untuk menjadi pribadi yang dewasa dan serupa dengan Kristus dan mengikutsertakan mereka di dalam menggenapi rencana dan tujuan-Nya (contohnya adalah penderitaan Yusuf, Kej. 50:20).

Tujuan Allah melalui Penderitaan
Allah mengizinkan orang-orang percaya, umat-Nya, mengalami penderitaan supaya tujuan dan rencana-Nya bagi mereka tercapai, yaitu
1. Supaya mereka dapat mengalami Allah sendiri, semakin akrab dengan-Nya dan mengenal Dia lebih dalam (Kej. 39:2-3, 21-23; Ayub 42:1-6).
2. Supaya penderitaan mereka menjadi sebuah kesaksian iman
a. untuk memuliakan Allah di hadapan malaikat dan iblis (Ayub 1-2) dan manusia (1Ptr. 4:16)
b. untuk menunjukkan karya, kuasa dan kemuliaan Allah kepada orang-orang lain (2Kor. 12:9; Yoh. 9:3; 11:4)
c. untuk memperlihatkan karakter dan kemuliaan Kristus (2Kor. 4:8-11; Flp. 1:20) dan memberitakan Injil (2Tim. 2:8-10) supaya orang-orang yang belum percaya dibawa kepada Kristus
d. untuk memberikan penjelasan iman (1Ptr. 3:14-15) dan menunjukkan kehidupan yang saleh (1Ptr. 3:14, 16) supaya orang-orang yang menentang Kekristenan menjadi malu.
3. Supaya mereka dapat menghibur dan menguatkan orang lain yang menderita (2Kor. 1:3-4)
4. Supaya Allah dapat mendisiplin/mendidik mereka (Ibr. 12:5-11)
5. Supaya mereka tidak menjadi sombong dan terus bergantung kepada anugerah Allah (2Kor. 12:7)
6. Supaya iman mereka diuji dan dimurnikan sehingga menghasilkan kemurnian iman, ketabahan, ketekunan, tahan uji dan kedewasaan rohani (penderitaan Ayub, Rm. 5:3-5; Yak. 1:2-4; 1Ptr. 1:6-7)
7. Supaya mereka belajar taat kepada Allah (Ibr. 5:8)
8. Supaya Allah dapat memperluas pelayanan mereka (Flp. 1:12-14)

Sedangkan, Allah mengizinkan penderitaan terjadi pada orang-orang tidak/belum percaya supaya mereka datang kepada-Nya, percaya kepada-Nya dan bertobat. Contohnya adalah:
1. Naaman, jenderal bangsa Aram, yang sakit kusta (2Rj. 5).
2. Perwira di Kapernaum yang hambanya sakit lumpuh (Mat. 8:5-13; Luk. 7:1-10).
3. Orang lumpuh yang digotong empat orang temannya (Mrk. 2:1-12).

BAGAIMANA KITA BERESPONS TERHADAP PENDERITAAN KITA SENDIRI?
1. Ketika mengalami penderitaan, hal pertama dan terutama yang perlu kita lakukan adalah menyadari bahwa Allah sendiri pernah mengalami penderitaan dan oleh sebab itu Ia mengerti segala pergumulan kita. Di dalam pribadi Yesus Kristus, Allah sendiri masuk ke dalam penderitaan dan menanggung semua penderitaan di dunia. Setiap kepedihan dan penderitaan yang terjadi di dalam sejarah umat manusia, semuanya digulung menjadi satu bola, ditelan oleh Allah, dicerna dan dirasakan sepenuhnya, untuk selamanya. Ketika kita mengalami penderitaan, ingatlah bahwa Allah mengerti setiap pergumulan kita karena Ia sendiri pernah mengalami penderitaan yang hebat ketika Ia hidup sebagai manusia dan menanggung penderitaan salib demi menebus dosa kita (Ibr. 4:15). Ia ikut menangis bersama dengan kita. Seorang pengkhotbah dan teolog, John R. W. Stott, pernah berkata:
“Saya sendiri tidak akan pernah percaya kepada Allah kalau bukan karena salib itu. Dalam dunia nyata yang penuh dengan kepedihan, bagaimana orang dapat menyembah allah yang kebal terhadap semua penderitaan? Saya pernah mengunjungi banyak kuil di Asia dan berdiri di hadapan patung, kaki dan lengannya terlipat, matanya tertutup, sebuah senyum simpul tampak di mulutnya, sebuah tatapan yang jauh, terlepas dari semua penderitaan di dunia ini. Namun, setiap kali saya melihatnya, saya terpaksa mengarahkan pandangan saya ke arah lain. Dalam imajinasi, saya menoleh ke sosok yang sendirian, tergantung, tersiksa di atas kayu salib, paku-paku menusuk lengan dan kaki-Nya, punggungnya terkoyak oleh luka, pahanya terkilir, dahinya berlumuran darah karena duri-duri yang ditusukkan ke kepalanya, mulutnya kering dan sangat kehausan, dibuang ke dalam kegelapan dan ditinggalkan oleh Allah. Bagi saya, itulah Allah! Dia meninggalkan kekebalan-Nya terhadap kepedihan. Dia memasuki dunia darah dan daging, air mata dan kematian. Dia menderita bagi kita. Penderitaan kita jadi lebih mudah diatasi kalau dibandingkan dengan penderitaan-Nya.”
2. Jangan mati-matian dan terus-menerus bertanya kepada Allah, “Mengapa penderitaan ini menimpa saya? Bukankah saya sudah hidup saleh dan melayani dengan setia?” karena sebagai manusia yang terbatas kita tidak bisa mengerti sepenuhnya misteri kedaulatan dan pengaturan Allah atas kehidupan kita. Tindakan Allah tidak terikat pada hukum tabur-tuai, yang menganggap bahwa jika hidup saleh dan taat maka akan diberkati, sebaliknya jika hidup berbuat dosa maka akan menderita (bdk. Ayub 4:7-9). Ayub hidup saleh namun Allah malah mengizinkan ia mengalami penderitaan yang hebat. Daripada menuntut penjelasan dari Allah, lebih baik kita menerima penderitaan itu (Ayub 2:10) dan menghadapinya dengan bersukacita/berbahagia (1Ptr. 1:6; 4:13-14; Yak. 1:2) dan memohon kekuatan dari Allah supaya bisa menghadapinya dengan tabah dan sabar. Menerima penderitaan dengan rela dan bersukacita bukan berarti kita pura-pura kuat (munafik) melainkan bersikap apa adanya. Jika ingin menangis, menangislah. Jika memang ada perasaan tidak bisa menerima, bingung, marah dan kecewa kepada Allah, ungkapkanlah itu kepada Allah di dalam doa, tetapi jangan sampai kita menolak Dia dan meninggalkan iman kita.
3. Menjadikan Allah sebagai sasaran/tujuan dan bukan sarana. Menjadikan Allah sebagai sarana/alat berarti kita meminta Allah memperbaiki situasi hidup kita yang buruk untuk menjadi baik sesuai dengan kehendak dan rencana kita sendiri. Hal ini sama saja dengan memperalat Allah demi mencapai tujuan kita sendiri. Menjadikan Allah sebagai sarana berarti kita lebih menginginkan kesehatan, keamanan, kekayaan, kesejahteraan dan keinginan-keinginan kita yang lainnya daripada menginginkan pribadi Allah sendiri. Menjadikan Allah sebagai sarana berarti kita menganggap tujuan Allah adalah memuliakan dan memuaskan manusia. Sebaliknya, menjadikan Allah sebagai sasaran berarti kita menjadikan Allah sebagai tujuan utama dan pusat hidup kita. Ketika Allah menjadi tujuan hidup kita maka kebahagiaan hidup dan kedamaian hati kita tidak lagi tergantung kepada kelancaran hidup, tubuh yang sehat, kemapanan ekonomi, keberhasilan usaha/pekerjaan, kestabilan hidup melainkan terletak pada pribadi Allah sendiri yang kekal, tidak berubah dan dapat diandalkan. Ketika Allah menjadi pusat hidup maka kebahagiaan hidup tidak lagi bergantung pada situasi-kondisi tetapi pada hubungan kita dengan Tuhan. Sekalipun situasi-kondisi hidup kita buruk, susah dan menderita namun kita tetap memiliki iman dan damai sejahtera yang sejati di dalam hati kita (Hab. 3:17-19; Yoh. 16:33), karena Allah sendirilah yang menjadi sumber kebahagiaan dan damai sejahtera itu.
4. Mengevaluasi diri dan kehidupan kita. Pertama, evaluasilah apakah penderitaan ini disebabkan oleh dosa dan kebodohan kita sendiri yang melanggar firman Tuhan? Jika ya maka kita harus segera mengakuinya di hadapan Allah dan bertobat. Kedua, jika bukan karena dosa maka bertanyalah kepada Allah (di dalam doa dan perenungan firman): “Apa yang Engkau ingin kerjakan, apa yang Engkau ingin saya lakukan atau pelajari melalui penderitaan ini?” Lihatlah daftar “Tujuan Allah melalui Penderitaan” di atas, dan evaluasilah penderitaan kita berdasarkan tujuan-tujuan tersebut. Allah ingin menggenapkan salah satu tujuan tersebut melalui penderitaan kita.

BAGAIMANA KITA BERESPONS TERHADAP PENDERITAAN ORANG LAIN?
1. Jangan menghakimi orang yang sedang menderita dengan mengatakan bahwa penderitaannya itu adalah hukuman dari Allah karena dosa-dosanya. Allah menyalahkan teman-teman Ayub karena mereka menuduh Ayub menderita karena berbuat dosa (Ayub 42:7). Tuhan Yesus tidak ingin murid-murid-Nya menanggapi penderitaan orang lain sebagai akibat dari dosanya atau keluarganya (Yoh. 9:1-3).
2. Jangan menganggap diri kita lebih baik atau lebih saleh dari orang yang sedang menderita itu. Tuhan Yesus mengecam keras orang-orang yang suka menghakimi orang-orang yang sedang menderita dengan mengatakan bahwa dosa-dosa mereka jauh lebih besar sehingga mereka dihukum Allah (Luk. 13:1-5). Penderitaan orang lain seharusnya membuat kita mengintrospeksi diri akan dosa-dosa kita sendiri.
3. Menghibur dan menguatkan orang yang menderita itu (2Kor. 1:3-4) sebagai keikutsertaan dan tanggung jawab kita di dalam melakukan pekerjaan Allah (Yoh. 9:4).
4. Jika orang lain yang menderita itu adalah saudara seiman maka, sebagai anggota tubuh Kristus, Allah ingin kita berempati, ikut merasakan penderitaannya. Jika satu anggota tubuh menderita maka seluruh tubuh ikut menderita (1Kor. 12:26-27).

PENUTUP DAN KESIMPULAN
Allah menjawab masalah penderitaan bukan dengan menyingkirkan atau menghapuskannya dari kehidupan manusia melainkan dengan memakainya untuk menggenapkan tujuan dan rencana-Nya yang kekal. Dengan dasar pemahaman seperti ini maka sikap kita terhadap penderitaan yang terjadi di dunia ini—yang kita alami sendiri maupun yang dialami orang lain—adalah menerima dan memaknainya berdasarkan tujuan yang hendak Allah lakukan melalui penderitaan itu.