Minggu, 14 Oktober 2007

Masalah Penderitaan

JIKA ALLAH MAHAKUASA DAN MAHABAIK,
MENGAPA ORANG PERCAYA MENDERITA?

PENDAHULUAN
Masalah penderitaan dan kejahatan (problem of suffering, problem of evil) akan selalu menjadi pertanyaan dan kebingungan bagi orang percaya di sepanjang sejarah. Untuk menyingkatkan penggunaan kata, arti “penderitaan” di sini juga mencakup kejahatan. Jadi penderitaan adalah hal-hal buruk yang menimpa kehidupan seseorang, termasuk bencana alam, sakit penyakit, kematian, dan kejahatan.

MASALAH PENDERITAAN
Masalah penderitaan dapat dirumuskan dengan satu kalimat berikut: “Jika Allah itu ada, mahatahu, mahakuasa dan mahabaik, mengapa di dunia ini ada penderitaan?”
Premis-premis : Allah itu ada, mahatahu, mahakuasa, mahabaik
Kesimpulan : Di dunia ini tidak ada penderitaan.
Jika Allah itu ada, mahatahu, mahakuasa dan mahabaik maka seharusnya di dunia ini tidak ada penderitaan, karena
• Jika Allah mahatahu maka Ia sangat tahu bahwa penderitaan menyengsarakan/menghancurkan kehidupan manusia.
• Jika Allah mahakuasa maka Ia sangat sanggup/mampu untuk menyingkirkan penderitaan.
• Jika Allah mahabaik maka Ia sangat ingin/mau untuk menyingkirkan semua penderitaan di dunia ini sehingga manusia dapat hidup nyaman dan bebas dari penderitaan.
Kesimpulannya, di dunia ini tidak akan ada penderitaan.

Tetapi faktanya, di dunia ini ada penderitaan. Maka secara logika ada tiga kemungkinan pemahaman tentang Allah
1. Allah tidak mahakuasa. Jika ada penderitaan maka Allah tidak mahakuasa. Ia memang mahabaik dan menghendaki terjadinya kebaikan di dunia ini, tetapi Ia tidak sanggup untuk mewujudkan keinginan-Nya itu karena Ia tidak mahakuasa.
2. Allah tidak mahabaik. Jika ada penderitaan maka Allah tidak mahabaik. Ia sanggup untuk mewujudkan kebaikan di dunia ini tetapi Ia tidak mau sebab Ia memang adalah Allah yang jahat!
3. Allah tidak ada. Jika Allah itu adalah pribadi yang mahatahu, mahakuasa dan mahabaik, namun demikian penderitaan itu tetap ada maka berarti Allah yang seperti itu tidak ada.

JAWABAN ALKITAB TERHADAP MASALAH PENDERITAAN
Penyebab Penderitaan
Penderitaan bukanlah rencana semula Allah bagi ciptaan-Nya melainkan disebabkan oleh kehendak bebas manusia yang memilih untuk melanggar ketetapan Allah. Penderitaan adalah akibat dari hukuman universal Allah atas dosa manusia.
1. Kita menderita karena hidup di bumi yang telah dikutuk. Karena pemberontakan manusia pertama (Adam) kepada Allah maka bumi ini pun telah dikutuk (Kej. 3:17-19a), artinya bumi tidak lagi menjadi habitat yang bersahabat dan mendukung kehidupan manusia melainkan telah menjadi musuh dan menyusahkan kehidupan manusia.
2. Kita menderita karena hukuman Allah yang universal atas dosa umat manusia, yaitu penuaan tubuh jasmani dan kematian secara jasmani (Kej. 3:19b).
3. Kita menderita karena perbuatan manusia berdosa lainnya. Karena kejatuhan manusia pertama maka dosa telah menguasai seluruh umat manusia di muka bumi ini dan di segala zaman (Kej. 6:5, 11-12), yang pikiran, perasaan dan perilakunya telah dikuasai dosa (Rm. 1:21; Ef. 4:17-19).
4. Kita menderita sebagai akibat dosa dan kebodohan kita sendiri (Gal. 6:7-9). Contohnya, bila kita memiliki kebiasaan buruk merokok maka jika kita menderita kanker paru-paru, itu adalah akibat dari perbuatan kita sendiri.
Catatan: secara universal memang penderitaan adalah hukuman atas dosa manusia, tetapi secara pribadi lepas pribadi, penderitaan orang percaya tidaklah selalu disebabkan oleh dosanya sendiri (mis. penderitaan Ayub).

Allah Tetap Mahakuasa
Meskipun Allah bukanlah penyebab penderitaan, namun penderitaan bukanlah di luar kedaulatan Allah tetapi tetap ada di dalam kendali/kontrol Allah atas ciptaan (Ef. 1:11, “. . . Allah, . . . di dalam segala sesuatu [termasuk penderitaan] bekerja menurut keputusan kehendak-Nya”; Rm. 8:28, “. . . Allah turut bekerja dalam segala sesuatu [termasuk penderitaan] . . . ”). Penderitaan tidaklah mengurangi kedaulatan dan kemahakuasaan Allah. Alam semesta, jalannya sejarah, orang-orang berdosa, bahkan Iblis dan antek-anteknya sekalipun tetap ada di dalam kontrol Allah. Kejatuhan manusia ke dalam dosa maupun penderitaan yang diakibatkannya tidaklah menggagalkan rencana kekal Allah bagi orang percaya.
Allah yang mahakuasa memang sanggup untuk menyingkirkan penderitaan sehingga di dunia ini orang percaya dapat hidup bebas dari penderitaan. Tetapi, di dalam kemahakuasaan-Nya yang tidak selalu bisa kita mengerti, Allah memilih untuk mengizinkan dan memakai penderitaan untuk menggenapkan rencana kekal-Nya. Jadi, jika orang percaya saat ini mengalami penderitaan, maka penderitaan itu ada di dalam kendali dan pengaturan Allah (bdk. 1Tes. 3:3b; 1Ptr. 4:19) untuk menggenapkan rencana/tujuan-Nya bagi orang percaya (Yer. 29:11; Rm. 8:28).
Jadi, Allah tetap mahakuasa karena (1) penderitaan tetap ada di dalam kontrol Allah, (2) penderitaan tidak menggagalkan rencana kekal-Nya dan (3) Ia memakai penderitaan untuk menggenapkan tujuan/rencana-Nya bagi orang percaya.

Allah Tetap Mahatahu dan Mahabaik
Adanya penderitaan di dalam kehidupan orang percaya bukanlah alasan untuk menyalahkan atau meragukan kemahatahuan dan kemahabaikan Allah. Di dalam kemahatahuan-Nya, Allah sangat tahu apa yang terbaik bagi orang percaya. Di dalam kemahatahuan/kemahabijakan-Nya itu, Allah tahu bahwa dalam jangka panjang penderitaan akan membawa kebaikan yang lebih besar bagi anak-anak-Nya atau mengakibatkan efektifitas yang lebih besar bagi tergenapinya rencana-Nya yang baik dibandingkan dengan tanpa penderitaan.
Pengertian “baik” menurut Allah tidak sama dengan pengertian kita sebagai manusia (bdk. Yes. 55:8-9). “Baik” menurut kita adalah kenyamanan dan kesenangan kita. Sedangkan “baik” menurut Allah adalah pembentukan kita menjadi pribadi-pribadi yang memiliki karakter dan keserupaan dengan Kristus. Rencana/tujuan Allah bagi hidup kita di dunia saat ini bukanlah membuat kita nyaman dan bebas dari penderitaan melainkan mendidik dan melatih kita untuk menjadi pribadi yang dewasa/matang di hadapan-Nya.
Jadi, Allah tetap mahatahu dan mahabaik karena Ia tahu apa yang terbaik bagi orang percaya. Allah tahu bahwa penderitaan justru akan membawa kebaikan yang jauh lebih besar bagi orang-orang percaya, yaitu melatih mereka untuk menjadi pribadi yang dewasa dan serupa dengan Kristus dan mengikutsertakan mereka di dalam menggenapi rencana dan tujuan-Nya (contohnya adalah penderitaan Yusuf, Kej. 50:20).

Tujuan Allah melalui Penderitaan
Allah mengizinkan orang-orang percaya, umat-Nya, mengalami penderitaan supaya tujuan dan rencana-Nya bagi mereka tercapai, yaitu
1. Supaya mereka dapat mengalami Allah sendiri, semakin akrab dengan-Nya dan mengenal Dia lebih dalam (Kej. 39:2-3, 21-23; Ayub 42:1-6).
2. Supaya penderitaan mereka menjadi sebuah kesaksian iman
a. untuk memuliakan Allah di hadapan malaikat dan iblis (Ayub 1-2) dan manusia (1Ptr. 4:16)
b. untuk menunjukkan karya, kuasa dan kemuliaan Allah kepada orang-orang lain (2Kor. 12:9; Yoh. 9:3; 11:4)
c. untuk memperlihatkan karakter dan kemuliaan Kristus (2Kor. 4:8-11; Flp. 1:20) dan memberitakan Injil (2Tim. 2:8-10) supaya orang-orang yang belum percaya dibawa kepada Kristus
d. untuk memberikan penjelasan iman (1Ptr. 3:14-15) dan menunjukkan kehidupan yang saleh (1Ptr. 3:14, 16) supaya orang-orang yang menentang Kekristenan menjadi malu.
3. Supaya mereka dapat menghibur dan menguatkan orang lain yang menderita (2Kor. 1:3-4)
4. Supaya Allah dapat mendisiplin/mendidik mereka (Ibr. 12:5-11)
5. Supaya mereka tidak menjadi sombong dan terus bergantung kepada anugerah Allah (2Kor. 12:7)
6. Supaya iman mereka diuji dan dimurnikan sehingga menghasilkan kemurnian iman, ketabahan, ketekunan, tahan uji dan kedewasaan rohani (penderitaan Ayub, Rm. 5:3-5; Yak. 1:2-4; 1Ptr. 1:6-7)
7. Supaya mereka belajar taat kepada Allah (Ibr. 5:8)
8. Supaya Allah dapat memperluas pelayanan mereka (Flp. 1:12-14)

Sedangkan, Allah mengizinkan penderitaan terjadi pada orang-orang tidak/belum percaya supaya mereka datang kepada-Nya, percaya kepada-Nya dan bertobat. Contohnya adalah:
1. Naaman, jenderal bangsa Aram, yang sakit kusta (2Rj. 5).
2. Perwira di Kapernaum yang hambanya sakit lumpuh (Mat. 8:5-13; Luk. 7:1-10).
3. Orang lumpuh yang digotong empat orang temannya (Mrk. 2:1-12).

BAGAIMANA KITA BERESPONS TERHADAP PENDERITAAN KITA SENDIRI?
1. Ketika mengalami penderitaan, hal pertama dan terutama yang perlu kita lakukan adalah menyadari bahwa Allah sendiri pernah mengalami penderitaan dan oleh sebab itu Ia mengerti segala pergumulan kita. Di dalam pribadi Yesus Kristus, Allah sendiri masuk ke dalam penderitaan dan menanggung semua penderitaan di dunia. Setiap kepedihan dan penderitaan yang terjadi di dalam sejarah umat manusia, semuanya digulung menjadi satu bola, ditelan oleh Allah, dicerna dan dirasakan sepenuhnya, untuk selamanya. Ketika kita mengalami penderitaan, ingatlah bahwa Allah mengerti setiap pergumulan kita karena Ia sendiri pernah mengalami penderitaan yang hebat ketika Ia hidup sebagai manusia dan menanggung penderitaan salib demi menebus dosa kita (Ibr. 4:15). Ia ikut menangis bersama dengan kita. Seorang pengkhotbah dan teolog, John R. W. Stott, pernah berkata:
“Saya sendiri tidak akan pernah percaya kepada Allah kalau bukan karena salib itu. Dalam dunia nyata yang penuh dengan kepedihan, bagaimana orang dapat menyembah allah yang kebal terhadap semua penderitaan? Saya pernah mengunjungi banyak kuil di Asia dan berdiri di hadapan patung, kaki dan lengannya terlipat, matanya tertutup, sebuah senyum simpul tampak di mulutnya, sebuah tatapan yang jauh, terlepas dari semua penderitaan di dunia ini. Namun, setiap kali saya melihatnya, saya terpaksa mengarahkan pandangan saya ke arah lain. Dalam imajinasi, saya menoleh ke sosok yang sendirian, tergantung, tersiksa di atas kayu salib, paku-paku menusuk lengan dan kaki-Nya, punggungnya terkoyak oleh luka, pahanya terkilir, dahinya berlumuran darah karena duri-duri yang ditusukkan ke kepalanya, mulutnya kering dan sangat kehausan, dibuang ke dalam kegelapan dan ditinggalkan oleh Allah. Bagi saya, itulah Allah! Dia meninggalkan kekebalan-Nya terhadap kepedihan. Dia memasuki dunia darah dan daging, air mata dan kematian. Dia menderita bagi kita. Penderitaan kita jadi lebih mudah diatasi kalau dibandingkan dengan penderitaan-Nya.”
2. Jangan mati-matian dan terus-menerus bertanya kepada Allah, “Mengapa penderitaan ini menimpa saya? Bukankah saya sudah hidup saleh dan melayani dengan setia?” karena sebagai manusia yang terbatas kita tidak bisa mengerti sepenuhnya misteri kedaulatan dan pengaturan Allah atas kehidupan kita. Tindakan Allah tidak terikat pada hukum tabur-tuai, yang menganggap bahwa jika hidup saleh dan taat maka akan diberkati, sebaliknya jika hidup berbuat dosa maka akan menderita (bdk. Ayub 4:7-9). Ayub hidup saleh namun Allah malah mengizinkan ia mengalami penderitaan yang hebat. Daripada menuntut penjelasan dari Allah, lebih baik kita menerima penderitaan itu (Ayub 2:10) dan menghadapinya dengan bersukacita/berbahagia (1Ptr. 1:6; 4:13-14; Yak. 1:2) dan memohon kekuatan dari Allah supaya bisa menghadapinya dengan tabah dan sabar. Menerima penderitaan dengan rela dan bersukacita bukan berarti kita pura-pura kuat (munafik) melainkan bersikap apa adanya. Jika ingin menangis, menangislah. Jika memang ada perasaan tidak bisa menerima, bingung, marah dan kecewa kepada Allah, ungkapkanlah itu kepada Allah di dalam doa, tetapi jangan sampai kita menolak Dia dan meninggalkan iman kita.
3. Menjadikan Allah sebagai sasaran/tujuan dan bukan sarana. Menjadikan Allah sebagai sarana/alat berarti kita meminta Allah memperbaiki situasi hidup kita yang buruk untuk menjadi baik sesuai dengan kehendak dan rencana kita sendiri. Hal ini sama saja dengan memperalat Allah demi mencapai tujuan kita sendiri. Menjadikan Allah sebagai sarana berarti kita lebih menginginkan kesehatan, keamanan, kekayaan, kesejahteraan dan keinginan-keinginan kita yang lainnya daripada menginginkan pribadi Allah sendiri. Menjadikan Allah sebagai sarana berarti kita menganggap tujuan Allah adalah memuliakan dan memuaskan manusia. Sebaliknya, menjadikan Allah sebagai sasaran berarti kita menjadikan Allah sebagai tujuan utama dan pusat hidup kita. Ketika Allah menjadi tujuan hidup kita maka kebahagiaan hidup dan kedamaian hati kita tidak lagi tergantung kepada kelancaran hidup, tubuh yang sehat, kemapanan ekonomi, keberhasilan usaha/pekerjaan, kestabilan hidup melainkan terletak pada pribadi Allah sendiri yang kekal, tidak berubah dan dapat diandalkan. Ketika Allah menjadi pusat hidup maka kebahagiaan hidup tidak lagi bergantung pada situasi-kondisi tetapi pada hubungan kita dengan Tuhan. Sekalipun situasi-kondisi hidup kita buruk, susah dan menderita namun kita tetap memiliki iman dan damai sejahtera yang sejati di dalam hati kita (Hab. 3:17-19; Yoh. 16:33), karena Allah sendirilah yang menjadi sumber kebahagiaan dan damai sejahtera itu.
4. Mengevaluasi diri dan kehidupan kita. Pertama, evaluasilah apakah penderitaan ini disebabkan oleh dosa dan kebodohan kita sendiri yang melanggar firman Tuhan? Jika ya maka kita harus segera mengakuinya di hadapan Allah dan bertobat. Kedua, jika bukan karena dosa maka bertanyalah kepada Allah (di dalam doa dan perenungan firman): “Apa yang Engkau ingin kerjakan, apa yang Engkau ingin saya lakukan atau pelajari melalui penderitaan ini?” Lihatlah daftar “Tujuan Allah melalui Penderitaan” di atas, dan evaluasilah penderitaan kita berdasarkan tujuan-tujuan tersebut. Allah ingin menggenapkan salah satu tujuan tersebut melalui penderitaan kita.

BAGAIMANA KITA BERESPONS TERHADAP PENDERITAAN ORANG LAIN?
1. Jangan menghakimi orang yang sedang menderita dengan mengatakan bahwa penderitaannya itu adalah hukuman dari Allah karena dosa-dosanya. Allah menyalahkan teman-teman Ayub karena mereka menuduh Ayub menderita karena berbuat dosa (Ayub 42:7). Tuhan Yesus tidak ingin murid-murid-Nya menanggapi penderitaan orang lain sebagai akibat dari dosanya atau keluarganya (Yoh. 9:1-3).
2. Jangan menganggap diri kita lebih baik atau lebih saleh dari orang yang sedang menderita itu. Tuhan Yesus mengecam keras orang-orang yang suka menghakimi orang-orang yang sedang menderita dengan mengatakan bahwa dosa-dosa mereka jauh lebih besar sehingga mereka dihukum Allah (Luk. 13:1-5). Penderitaan orang lain seharusnya membuat kita mengintrospeksi diri akan dosa-dosa kita sendiri.
3. Menghibur dan menguatkan orang yang menderita itu (2Kor. 1:3-4) sebagai keikutsertaan dan tanggung jawab kita di dalam melakukan pekerjaan Allah (Yoh. 9:4).
4. Jika orang lain yang menderita itu adalah saudara seiman maka, sebagai anggota tubuh Kristus, Allah ingin kita berempati, ikut merasakan penderitaannya. Jika satu anggota tubuh menderita maka seluruh tubuh ikut menderita (1Kor. 12:26-27).

PENUTUP DAN KESIMPULAN
Allah menjawab masalah penderitaan bukan dengan menyingkirkan atau menghapuskannya dari kehidupan manusia melainkan dengan memakainya untuk menggenapkan tujuan dan rencana-Nya yang kekal. Dengan dasar pemahaman seperti ini maka sikap kita terhadap penderitaan yang terjadi di dunia ini—yang kita alami sendiri maupun yang dialami orang lain—adalah menerima dan memaknainya berdasarkan tujuan yang hendak Allah lakukan melalui penderitaan itu.

Tidak ada komentar: